Simpul Kebahagiaan Dalam Hujan

Hujan sore itu turun dengan derasnya di kota tua Yogyakarta. Langit yang tadinya cerah mendadak berubah kelabu, dan rintik air membasahi jalanan, menciptakan genangan-genangan kecil yang memantulkan cahaya lampu temaram. Di sebuah warung kopi sederhana di sudut jalan, duduklah seorang kakek bernama Pak Seno. Usianya sudah senja, namun matanya masih menyimpan binar yang hangat.

Di seberang mejanya, duduk seorang gadis muda bernama Risa. Wajahnya tampak murung, menatap kosong ke luar jendela. Hari ini adalah hari ulang tahunnya, namun tak ada perayaan meriah, tak ada ucapan selamat yang istimewa. Ia merasa sepi di tengah ramainya kota.

Pak Seno memperhatikan Risa sejak tadi. Ia melihat kesedihan yang terpancar dari matanya. Dengan senyum lembut, ia menyodorkan secangkir teh hangat kepada Risa.

"Nimas, ini diminum dulu. Biar hangat," katanya pelan.

Risa mendongak, sedikit terkejut. Ia menerima cangkir teh itu dengan ragu. "Terima kasih, Pak."

Keheningan kembali menyelimuti mereka, hanya dipecah oleh suara rintik hujan yang menabuh atap warung. Pak Seno kemudian membuka percakapan dengan suara tenang.

"Hujan begini, biasanya orang pada berteduh dan merasa sedikit murung ya, Nimas?"

Risa mengangguk pelan, membenarkan ucapan Pak Seno.

"Tapi tahukah kamu, Nimas? Dulu, ibu saya selalu bilang, hujan itu seperti air mata langit yang membersihkan bumi. Setelah hujan reda, biasanya akan ada pelangi."

Risa menatap Pak Seno dengan rasa ingin tahu.

"Dan terkadang," lanjut Pak Seno sambil tersenyum, "kebahagiaan itu justru kita temukan di tengah hujan. Bukan setelahnya."

Risa mengerutkan kening, tidak mengerti.

Pak Seno kemudian bercerita tentang masa kecilnya. Ia dibesarkan di sebuah desa kecil yang jauh dari hiruk pikuk kota. Setiap kali hujan turun, ia dan teman-temannya akan berlarian keluar rumah, bermain air di sawah, tertawa riang tanpa peduli pakaian mereka basah kuyup.

"Saat itu, hujan bukan halangan untuk bahagia. Justru, hujan menjadi bagian dari kebahagiaan kami. Kami membuat perahu-perahuan dari daun pisang dan melarikannya di aliran air. Kami melompat-lompat di genangan air, merasakan dinginnya menyentuh kulit. Kebahagiaan itu sederhana sekali, Nimas."

Risa mendengarkan cerita Pak Seno dengan saksama. Ada kehangatan dalam suara kakek itu yang perlahan menenangkan hatinya. Ia mulai membayangkan masa kecil Pak Seno, anak-anak desa yang riang bermain di tengah hujan.

"Mungkin," kata Pak Seno lagi, "kebahagiaan itu seperti simpul. Kadang tersembunyi, kadang terlepas. Tapi kita bisa mengikatnya kembali, bahkan di saat yang tidak terduga, seperti saat hujan ini."

Tiba-tiba, seorang anak kecil berlari masuk ke dalam warung, diikuti oleh ibunya yang basah kuyup. Anak itu tertawa riang sambil memegang sebuah payung berwarna-warni yang sedikit kebesaran untuknya. Ia melompat-lompat kecil, kegirangan menikmati hujan.

Melihat pemandangan itu, Risa tanpa sadar tersenyum. Ada kebahagiaan polos yang terpancar dari tawa anak kecil itu, sebuah kebahagiaan yang tidak terpengaruh oleh cuaca.

Pak Seno mengangguk kecil, seolah mengerti apa yang sedang dirasakan Risa. "Lihatlah, Nimas. Kebahagiaan itu ada di sekitar kita, bahkan dalam rintik hujan sekalipun. Terkadang, kita hanya perlu membuka mata dan hati kita untuk melihatnya."

Hujan mulai mereda. Cahaya matahari mulai menembus awan kelabu. Risa menghabiskan sisa tehnya, merasakan kehangatan yang menjalar di tubuhnya. Ia menatap keluar jendela, melihat genangan air yang mulai surut, meninggalkan jejak-jejak kesegaran.

Untuk pertama kalinya di hari ulang tahunnya ini, Risa merasakan setitik kebahagiaan. Bukan kebahagiaan yang meriah atau istimewa, melainkan kebahagiaan sederhana yang ia temukan di tengah hujan, dalam percakapan hangat dengan seorang kakek yang bijaksana. Ia menyadari, kebahagiaan memang bisa ditemukan di mana saja, bahkan dalam rintik hujan yang tadinya membuatnya merasa sepi. Mungkin, ia hanya perlu belajar untuk mengikat simpul kebahagiaannya sendiri, di tengah badai atau di bawah langit yang cerah.

Comments

Popular posts from this blog

Fatamorgana

Penantian Tanpa Akhir

Ambiguitas dan Mimpi