Penantian Tanpa Akhir

Di sebuah stasiun kereta tua yang telah lama ditinggalkan, di mana cat dindingnya mengelupas dan relnya berkarat ditelan ilalang, hiduplah seorang pria tua bernama Elias. Ia telah menghabiskan lebih dari separuh hidupnya di stasiun itu, duduk di bangku kayu yang sama setiap harinya, menatap lurus ke arah rel yang menghilang di kejauhan.

Elias tidak menunggu kereta. Kereta terakhir yang melewati stasiun itu terjadi puluhan tahun yang lalu, jauh sebelum ia tiba. Ia menunggu seseorang. Seseorang yang pernah berjanji akan kembali, seseorang yang siluetnya samar-samar masih terukir jelas di benaknya. Seorang wanita dengan senyum sehangat mentari pagi dan mata sebiru langit musim panas.

Setiap pagi, saat kabut tipis menyelimuti stasiun, Elias akan menyapu halaman kecil di depan bekas loket, membersihkan debu dari bangku tempatnya duduk, dan memastikan setangkai bunga liar yang tumbuh di celah batu tetap segar. Ia menjaga stasiun itu seolah-olah kereta akan tiba kapan saja, seolah-olah penantiannya akan segera berakhir.

Penduduk desa terdekat sesekali akan melewati stasiun itu. Mereka mengenal Elias dan kisahnya yang pilu. Mereka mencoba membujuknya untuk pindah, untuk memulai hidup baru di tempat lain. Namun, Elias selalu menggelengkan kepala dengan senyum lembut namun penuh kesedihan. "Saya tidak bisa pergi," katanya. "Dia akan mencariku di sini. Saya harus tetap di sini sampai dia datang."

Waktu terus berjalan, menggerogoti stasiun dan tubuh Elias. Rambutnya memutih seluruhnya, keriput semakin dalam mengukir wajahnya, dan langkahnya semakin lambat. Namun, tatapannya ke arah rel tidak pernah berubah. Di matanya, masih tersimpan harapan yang membara, keyakinan yang tak tergoyahkan bahwa suatu hari nanti, orang yang ditunggunya akan muncul dari ujung rel.

Suatu sore, seorang wanita muda datang ke stasiun itu. Ia adalah cucu dari wanita yang dulu berjanji kepada Elias. Wanita itu telah meninggal dunia bertahun-tahun yang lalu, tanpa pernah memiliki kesempatan untuk kembali. Ia datang membawa sebuah surat tua yang lusuh, surat terakhir yang ditulis neneknya untuk Elias, berisi permintaan maaf dan kenangan indah tentang waktu yang mereka habiskan bersama.

Wanita muda itu menghampiri Elias, yang sedang duduk seperti biasa, menatap rel. Dengan suara lembut, ia membacakan surat itu. Elias mendengarkan dengan tenang, tanpa ekspresi. Ketika surat itu selesai dibacakan, ia menghela napas panjang, sangat panjang, seolah melepaskan beban yang telah lama dipikulnya.

Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Elias mengalihkan pandangannya dari rel. Ia menatap wanita muda itu dengan tatapan yang kosong namun penuh kedamaian. Kemudian, ia tersenyum. Senyum yang sama hangatnya dengan matahari pagi yang dulu pernah ia lihat di wajah kekasihnya.

Keesokan paginya, penduduk desa menemukan Elias tertidur di bangku stasiun, dengan setangkai bunga liar di genggamannya. Penantiannya telah berakhir, bukan dengan kedatangan orang yang ia tunggu, tetapi dengan penerimaan bahwa waktu memiliki caranya sendiri untuk membawa kita pada kedamaian, bahkan dalam penantian yang terasa tanpa akhir.


"Penantian Tanpa Akhir" adalah kisah tentang cinta yang tidak menyerah pada waktu, dan tentang janji yang tetap hidup meski dunia berkata mustahil.

Comments

Popular posts from this blog

Fatamorgana

Ambiguitas dan Mimpi