Cintaku Yang Terbaik

Hujan sore itu seperti air mata langit yang tumpah. Aku duduk di bangku taman kota, menggenggam erat surat yang baru saja kubaca. Kata-katanya masih terngiang, dingin danFinal: "Kita tidak ditakdirkan bersama." Setelah lima tahun, kisah cintaku dengan Arya berakhir seperti novel picisan yang terlalu dramatis.

Aku selalu mengira Arya adalah "yang terbaik". Ia tampan, cerdas, dan memiliki ambisi yang sama denganku. Kami membangun mimpi bersama, merencanakan masa depan yang gemilang. Bersamanya, aku merasa utuh, seolah menemukan kepingan puzzle yang hilang dalam diriku. Tapi ternyata, "utuh" versiku bergantung padanya, bukan pada diriku sendiri.

Setelah kepergian Arya, duniaku terasa runtuh. Aku menarik diri, enggan bertemu siapa pun. Setiap lagu cinta di radio, setiap pasangan yang bergandengan tangan di jalan, terasa seperti tusukan jarum di hatiku. Aku meratapi kehilangan "cinta terbaikku", meyakini bahwa kebahagiaan sejati telah ikut pergi bersamanya.

Suatu pagi, ibuku datang membawakanku sarapan dan sepucuk surat. Surat itu dari Nenek Ratih, nenek Arya. Aku enggan membukanya, tapi ibuku memaksaku. Dengan enggan, kubaca baris demi baris tulisan tangan yang bergetar itu.

Nenek Ratih bercerita tentang cinta sejatinya dengan Kakek Surya. Bukan cinta yang menggebu-gebu di masa muda, melainkan cinta yang tumbuh perlahan seiring waktu, melewati suka dan duka. Ia menulis tentang bagaimana mereka saling mendukung, saling menguatkan, dan bagaimana cinta itu justru semakin dalam seiring bertambahnya usia dan kerutan di wajah.

Di akhir suratnya, Nenek Ratih menulis sesuatu yang membuatku tertegun: "Cucu kesayanganku mungkin adalah cinta yang indah dalam hidupmu, Nak. Tapi jangan pernah lupakan, cinta yang terbaik adalah cinta yang tumbuh dari dalam dirimu sendiri. Cinta pada dirimu, pada impianmu, pada kemampuanmu untuk bangkit setelah jatuh."

Kata-kata Nenek Ratih seperti jendela yang tiba-tiba terbuka, membiarkan cahaya masuk ke dalam kegelapan hatiku. Aku mulai merenung. Apakah selama ini aku terlalu fokus mencari "yang terbaik" di luar sana, hingga lupa untuk menumbuhkan cinta itu di dalam diriku?

Aku mulai melakukan hal-hal yang dulu aku lupakan karena terlalu sibuk dengan Arya. Aku kembali melukis, hobiku sejak kecil yang sempat kutelantarkan. Aku menghabiskan waktu bersama teman-teman yang selalu mendukungku, bukan hanya saat bahagia, tapi juga saat terpuruk. Aku mulai membaca buku-buku yang menginspirasi dan melakukan perjalanan kecil untuk menyegarkan pikiran.

Perlahan, ada sesuatu yang berubah dalam diriku. Aku mulai menikmati waktuku sendiri. Aku menemukan kembali hal-hal yang membuatku bersemangat. Aku belajar untuk menghargai diriku apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekurangan. Aku mulai mencintai proses belajar dan bertumbuh, tanpa bergantung pada validasi dari orang lain.

Suatu sore, saat aku sedang asyik melukis di taman yang sama, seorang pria menghampiriku. Namanya Rio. Ia seorang fotografer alam yang sedang mengabadikan keindahan senja. Kami terlibat percakapan yang mengalir begitu saja, tentang seni, tentang alam, tentang mimpi-mimpi yang kami kejar.

Rio berbeda dari Arya. Ia tidak memiliki ambisi yang sama persis denganku, tapi ia menghargai impianku dan selalu mendukungku untuk meraihnya. Ia melihatku bukan sebagai pelengkap dirinya, tapi sebagai individu yang utuh dan berharga. Bersamanya, aku merasa nyaman menjadi diriku sendiri, tanpa perlu berpura-pura menjadi seseorang yang bukan aku.

Waktu berlalu, dan aku menyadari sesuatu yang penting. Arya memang pernah menjadi bagian indah dalam hidupku, sebuah bab yang penuh warna. Tapi perpisahan itu justru membuka mataku pada sebuah kebenaran yang lebih dalam: cintaku yang terbaik bukanlah seseorang, melainkan diriku sendiri. Cinta pada diriku yang memungkinkan aku untuk bangkit, untuk menemukan kembali passionku, dan untuk membuka hati bagi cinta yang lebih sehat dan sejati.

Bersama Rio, aku belajar bahwa cinta yang baik adalah cinta yang saling melengkapi tanpa menghilangkan individualitas. Cinta yang tumbuh berdampingan, bukan saling menggantikan. Cinta yang memberiku ruang untuk terus bertumbuh dan menjadi versi terbaik dari diriku.

Kini, ketika hujan sore kembali turun, aku tidak lagi merasa sedih. Aku melihatnya sebagai berkah, sebagai pengingat bahwa setelah badai pasti ada pelangi. Dan aku tahu, di dalam diriku, cinta itu akan terus bersemi, menjadi fondasi yang kuat untuk setiap hubungan yang akan datang. Karena cintaku yang terbaik adalah cinta yang berakar kuat di dalam hatiku sendiri.

Comments

Popular posts from this blog

Fatamorgana

Penantian Tanpa Akhir

Ambiguitas dan Mimpi