Siapa Bilang Pacaran Itu Indah

Tari dulu percaya bahwa pacaran adalah hal paling indah dalam hidup. Film, novel, lagu-lagu cinta—semuanya menanamkan bayangan bahwa ketika kamu punya pacar, dunia akan lebih lengkap, lebih bahagia, lebih "hidup."

Lalu datanglah Reno—senior di kampus yang pintar, tenang, dan tahu cara membuat perempuan merasa istimewa. Awalnya semua terasa seperti mimpi. Setiap pagi ada pesan “selamat pagi, cantik,” setiap malam ada suara yang menemani sebelum tidur. Jalan bareng, foto berdua, saling posting di media sosial. Semua terlihat sempurna.

Tapi ternyata, rasa nyaman bisa menyamar jadi jebakan.

Mulanya Reno hanya sedikit cemburu. Lalu menjadi posesif. Semua gerak Tari mulai diawasi—dengan siapa, di mana, kenapa lama balas chat. Jika Tari tidak memberi kabar, akan ada diam yang dingin, kadang amarah yang tiba-tiba. Kalau Tari mengeluh, jawabannya hanya satu:"Aku gini karena sayang."

Lama-lama, Tari mulai merasa tercekik. Tapi ia bertahan. Karena ia takut disebut tak setia. Takut kehilangan seseorang yang dulu begitu ia banggakan. Ia berpikir, mungkin ini hanya fase. Mungkin nanti membaik.

Tapi nyatanya, yang memburuk adalah dirinya sendiri. Ia jadi mudah menangis, takut berkata jujur, kehilangan jati diri.

Hingga akhirnya, di suatu malam, Tari duduk sendiri di kamar. Membuka galeri ponselnya. Melihat semua foto-foto mereka berdua. Dan untuk pertama kalinya, ia melihat bukan kenangan indah… tapi wajahnya sendiri yang sudah lama tidak benar-benar tersenyum.

Saat itulah ia sadar:

Pacaran seharusnya membuatmu tumbuh, bukan mengecilkan dirimu.
Pacaran seharusnya memberi bahagia, bukan jadi sumber luka.

Dan tidak semua hubungan yang tampak indah, memang benar-benar indah.

Esok harinya, Tari memutuskan untuk pergi. Bukan karena dia tak cinta, tapi karena dia mulai mencintai dirinya sendiri lebih dulu.

Comments

Popular posts from this blog

Fatamorgana

Penantian Tanpa Akhir

Ambiguitas dan Mimpi