Hiduplah di Hatiku Bidadariku

Senja itu, di ufuk barat yang memerah jambu, aku bertemu dengannya. Bukan di taman bunga atau kafe yang ramai, melainkan di perpustakaan kota yang sunyi, di antara tumpukan buku-buku lama yang berbau vanila dan kertas tua. Namanya Elara, dan dia sedang mencari edisi pertama puisi-puisi Rilke. Rambutnya hitam legam, tergerai sebatas pinggang, dan matanya… matanya seperti bintang-bintang di malam paling gelap, memancarkan kedalaman yang tak terhingga.

Kami mulai bicara tentang buku, lalu berlanjut ke mimpi, ke harapan, dan akhirnya, ke rahasia-rahasia kecil yang hanya bisa dibagikan dengan jiwa yang terasa familier. Aku tahu saat itu juga, ada sesuatu yang berbeda tentang Elara. Dia bukan hanya cantik, tapi juga cerdas, berjiwa bebas, dan memiliki kebaikan hati yang tulus. Dia seperti melodi yang hilang, kini kembali ditemukan dan mengisi setiap relung hatiku yang kosong.

Waktu berlalu seperti daun-daun yang jatuh di musim gugur, terlalu cepat namun indah. Setiap hari bersamanya adalah petualangan baru. Kami menjelajahi sudut-sudut kota yang tersembunyi, tertawa di bawah hujan deras, dan berbagi keheningan di tepi pantai saat ombak berbisik rahasia. Elara mengajariku melihat dunia dengan mata yang berbeda, menemukan keindahan dalam hal-hal kecil, dan merasakan hidup dengan lebih intens. Dia adalah bidadariku, bukan dalam arti bersayap dan turun dari langit, melainkan bidadari yang diciptakan dari cahaya, kebaikan, dan cinta yang tulus.

Namun, cinta seringkali diuji. Sebuah kesempatan besar datang untuk Elara, beasiswa penuh untuk melanjutkan studi di luar negeri, impian yang sudah lama dia damba. Hatiku mencelos. Bagaimana mungkin aku menahan sayap bidadariku? Berat, sungguh berat. Ada ketakutan, rasa cemas akan jarak dan waktu yang memisahkan. Tapi melihat kilau di matanya saat dia bicara tentang impian itu, aku tahu satu hal: cintaku padanya lebih besar dari ego pribadi.

"Pergilah, Elara," kataku suatu malam, di bawah naungan pohon tua yang menjadi saksi bisu kisah kami. "Kejarlah impianmu. Aku akan menunggumu."

Dia menatapku dengan mata berkaca-kaca, senyum tipis terukir di bibirnya. "Bagaimana bisa aku meninggalkanmu?" bisiknya, suaranya parau.

Aku menggenggam tangannya erat, merasakan kehangatan yang familiar itu. "Kamu tidak pernah pergi, sayang. Hiduplah di hatiku, bidadariku. Di sana, kamu akan selalu ada, tak terpisahkan oleh jarak atau waktu. Setiap detak jantungku akan menjadi pengingat bahwa kamu selalu bersamaku."

Dan Elara pergi. Hari-hariku terasa lebih sepi tanpa kehadirannya secara fisik, namun hatiku tak pernah kosong. Surat-surat berdatangan, email yang panjang, dan panggilan video larut malam menjadi jembatan antara kami. Setiap kata-katanya menguatkan, setiap tawa renyahnya adalah vitamin bagi jiwaku. Aku merasakan kehadirannya di setiap lagu yang ku dengar, di setiap buku yang ku baca, dan di setiap senja yang ku tatap. Dia benar-benar hidup di hatiku, bidadariku.

Beberapa tahun kemudian, dia kembali. Bukan sebagai orang yang sama, tapi sebagai versi dirinya yang lebih bersinar, lebih berani, dan lebih bijaksana. Dan saat dia berdiri di hadapanku, dengan senyum yang sama seperti saat pertama kami bertemu, aku tahu bahwa cinta kami telah teruji dan terbukti. Bidadariku telah pulang, tidak lagi hanya hidup dalam hatiku, tetapi juga di sisiku, selamanya.

Comments

Popular posts from this blog

Fatamorgana

Penantian Tanpa Akhir

Ambiguitas dan Mimpi