Rasa Sejati Yang Tak Terungkapkan

Di sebuah kedai kopi sudut kota yang selalu ramai, ada seorang barista bernama Senja. Tangannya lincah meracik kopi, menciptakan aroma yang memikat dan senyum yang ramah bagi setiap pelanggan. Namun, di balik keramahannya, tersimpan sebuah rasa yang hanya ia bagi dengan cangkir-cangkir kopi yang ia hidangkan.

Pelanggan tetap yang selalu datang setiap pagi adalah seorang pria bernama Langit. Ia seorang penulis dengan mata teduh dan senyum tipis yang selalu berhasil membuat jantung Senja berdebar sedikit lebih kencang. Senja memperhatikan bagaimana Langit selalu memesan kopi hitam tanpa gula, bagaimana jemarinya menari di atas laptopnya, dan bagaimana tatapannya sesekali menerawang jauh, seolah mencari ilham di antara hiruk pikuk kedai.

Rasa yang tumbuh di hati Senja untuk Langit adalah seperti biji kopi pilihan yang perlahan disangrai. Awalnya hanya kekaguman pada sosoknya yang tenang dan berwibawa, lalu berkembang menjadi ketertarikan pada ide-ide yang tersirat dalam tulisannya yang sesekali ia dengar. Senja merasa ada koneksi yang tak terlihat di antara mereka, sebuah pemahaman diam-diam yang hanya bisa ia rasakan.

Setiap kali Langit memesan kopi, Senja berusaha memberikan sentuhan kecil. Gelas yang lebih bersih, buih yang lebih sempurna, atau sekadar senyum yang ia tahan sedikit lebih lama. Ia berharap, mungkin saja, Langit akan menangkap sinyal-sinyal kecil yang ia kirimkan. Namun, Langit selalu menerima kopinya dengan ucapan terima kasih yang sopan, tanpa pernah menyadari gejolak yang terjadi di balik meja barista.

Senja menyimpan rapat perasaannya. Ia takut merusak keindahan interaksi singkat mereka. Ia takut penolakan akan menghancurkan rutinitas paginya yang selalu ia nantikan. Lagipula, siapa dirinya? Hanya seorang barista biasa, sementara Langit tampak seperti seseorang yang memiliki dunia sendiri, dunia yang mungkin terlalu jauh untuk ia jangkau.

Waktu terus berjalan. Musim berganti, dan kedai kopi itu tetap menjadi saksi bisu rasa yang tak terungkapkan. Senja terus melayani Langit, hatinya berdebar setiap kali mata mereka bertemu, meskipun hanya sekejap. Ia belajar banyak tentang Langit dari obrolan singkat mereka tentang buku atau cuaca, namun ia tak pernah berani melangkah lebih jauh.

Suatu pagi, Langit datang dengan wajah sedikit berbeda. Ada senyum yang lebih lebar di bibirnya, dan matanya memancarkan kebahagiaan yang tak biasa.

"Selamat pagi, Senja," sapanya dengan nada riang. "Hari ini aku ingin merayakan sesuatu. Aku baru saja menyelesaikan naskah novelku."

Senja ikut tersenyum, merasakan kehangatan menjalar di hatinya. "Selamat, Langit! Itu pasti kabar baik."

"Ya," jawab Langit. "Dan aku ingin berterima kasih pada tempat ini. Banyak ide yang muncul di sini, sambil menikmati kopi buatanmu."

Senja merasa tersanjung. Ini adalah pujian terindah yang pernah ia terima dari Langit.

Kemudian, Langit melanjutkan, "Sebenarnya, aku ingin memberikan ini padamu. Ini adalah salinan pertama novelku." Ia menyodorkan sebuah buku dengan sampul sederhana namun elegan.

Jantung Senja berdegup kencang saat menerima buku itu. "Terima kasih banyak, Langit. Aku pasti akan membacanya."

"Ada satu tokoh di dalamnya," kata Langit sambil tersenyum misterius, "yang terinspirasi dari seseorang yang selalu membuat pagiku lebih berwarna."

Senja menatap mata Langit, mencoba mencari makna di balik kata-katanya. Apakah ini...

Namun, sebelum ia sempat bertanya, seorang wanita cantik menghampiri meja Langit. "Sayang, sudah siap?" tanyanya sambil menggandeng lengan Langit.

Langit tersenyum pada wanita itu. "Sudah. Kenalkan, ini Senja, barista favoritku. Senja, ini Nadia, tunanganku."

Dunia Senja seolah berhenti berputar. Rasa hangat yang tadi menjalar di hatinya tiba-tiba membeku, digantikan oleh dingin yang menusuk. Ia tersenyum pahit, berusaha menyembunyikan kekecewaan yang menghantamnya.

"Selamat," ucap Senja lirih, menyerahkan kopi hitam tanpa gula pesanan Langit.

Langit dan Nadia berpamitan, meninggalkan Senja yang terpaku di balik meja barista. Rasa sejati yang selama ini ia simpan rapat, ternyata memang seharusnya tetap menjadi rahasia. Seperti aroma kopi yang menguap sesaat setelah diseduh, perasaannya tak pernah sampai pada orang yang ia tuju. Namun, di balik senyumnya yang kembali ramah kepada pelanggan berikutnya, tersimpan sebuah cerita tentang rasa yang indah namun tak terungkapkan, sebuah melodi hati yang hanya bisa ia dengar sendiri.

Comments

Popular posts from this blog

Fatamorgana

Penantian Tanpa Akhir

Ambiguitas dan Mimpi