Pohon Mangga Yang Angker

Desa Karangjati adalah desa kecil yang tampak biasa-biasa saja, terletak jauh dari keramaian kota. Tapi, hampir semua warga tahu: ada satu tempat yang tak boleh disentuh. Sebuah rumah tua dengan pohon mangga besar di halamannya.

Awal Kisah

Dulu, rumah itu milik Mbok Sri, seorang janda tua yang hidup menyendiri. Ia tak punya anak, dan suaminya telah meninggal sejak lama. Tapi yang paling orang ingat dari Mbok Sri bukan kesendiriannya, melainkan mangganya yang luar biasa manis.

Setiap musim buah, mangga dari pohon itu jatuh berlimpah. Tapi anehnya, Mbok Sri tidak pernah memetiknya. Ia hanya membiarkan buah jatuh dengan sendirinya, lalu kadang memberikannya ke anak-anak yang lewat.

Orang-orang percaya, mangga itu dipelihara dengan "cara" lain.

Sampai suatu malam, teriakan histeris terdengar dari rumah Mbok Sri. Warga berbondong-bondong datang. Dan di bawah pohon itu, mereka menemukannya—tubuh Mbok Sri tergeletak, matanya terbuka lebar menatap ke atas, bibirnya membiru.

Tak ada luka. Tak ada tanda kekerasan.

Tapi semua warga sepakat: ada yang salah.

Setelah kematiannya, rumah itu kosong. Tapi pohon mangga itu tetap tumbuh subur. Bahkan lebih lebat dari sebelumnya. Anehnya, buahnya tak pernah busuk—selalu matang dengan aroma manis yang menggoda.

Beberapa anak iseng mencoba memetiknya.
Mereka pulang dengan demam tinggi, menggigau di malam hari, menyebut-nyebut nama "Mbok Sri..."

Warga mulai takut. Setiap malam Jumat Kliwon, mereka mengaku mencium aroma mangga sangat kuat, bahkan dari rumah masing-masing. Dan beberapa mengaku melihat bayangan perempuan tua duduk di bawah pohon, menyisir rambut dengan sisir kayu.

Tahun-tahun berlalu. Cerita itu tinggal jadi bisik-bisik. Sampai suatu hari, datanglah Bagas, mahasiswa antropologi dari kota. Ia datang untuk meneliti mitos desa. Mendengar cerita pohon mangga itu, dia tertawa.

“Masa cuma karena mangga bisa sampai bikin orang nggak berani lewat?”

Warga memperingatkannya. Bahkan Pak Lurah sendiri bilang,“Nak, bukan kami percaya klenik. Tapi kami percaya pengalaman. Kalau kamu nekat, kami nggak tanggung jawab.”

Tapi Bagas tetap nekat. Ia memutuskan bermalam di rumah kosong itu, membawa alat perekam, kamera, dan buku catatan. Ia ingin mencatat semua pengalaman secara langsung.

Malam datang cepat. Pohon mangga itu berdiri tegak di bawah cahaya remang bulan.

Pukul 11 malam, Bagas duduk di teras. Ia mulai mencium aroma mangga yang aneh—manis tapi menyengat, seperti terlalu matang. Ia menyalakan kamera, mulai merekam diri sendiri.

“Jam 11.17. Saya mencium aroma mangga yang sangat kuat. Belum ada kejadian signifikan. Saya masih—”

PRAAK!

Sebuah buah mangga jatuh tepat di depannya. Warnanya hitam, seperti terbakar. Ketika Bagas mendekat untuk melihat... ada bekas tangan di kulit buah itu. Seperti baru saja dipegang oleh seseorang—tapi tidak ada siapa pun.

Tiba-tiba, dari balik pohon, terdengar suara lirih.“Kau… makan manggaku...?”

Bagas mendongak.

Di atas sana, di antara daun mangga yang rimbun, tampak seorang perempuan tua bergelantungan terbalik dari cabang pohon. Rambutnya panjang menjuntai ke tanah. Matanya hitam. Senyumnya lebar.

Bagas membeku.“Kenapa kau datang... kalau hanya ingin mencuri…?”

Wajah perempuan itu semakin dekat, padahal kakinya tidak bergerak. Ia melayang turun perlahan.

Bagas mencoba lari—tapi kakinya berat seperti tertahan akar. Kamera jatuh. Suara rekaman masih menyala, menangkap detik-detik terakhir sebelum semuanya gelap.

Warga menemukan Bagas pagi itu, tergeletak pingsan di luar pagar rumah. Kamera rusak. Tapi dari rekaman yang sempat terselamatkan, terdengar jelas suara lirih:“Biarkan pohon ini tenang…”

Bagas selamat, tapi tidak pernah bicara sepatah kata pun lagi. Ia hanya menggambar pohon mangga berulang-ulang di buku catatannya.

Dan sejak malam itu, warga tak lagi berani mendekat ke pohon itu. Bahkan dari jarak puluhan meter, mereka akan memutar arah.

Karena sekarang mereka tahu...

Pohon itu tidak hanya angker. Tapi ia hidup. Dan ia menjaga rahasia... yang tak boleh diganggu.

Comments

Popular posts from this blog

Fatamorgana

Penantian Tanpa Akhir

Ambiguitas dan Mimpi