Patung Pengantin

Desa Cempaka dikenal dengan keindahan alamnya dan juga sebuah cerita turun-temurun yang membuat bulu kuduk berdiri: kisah tentang Patung Pengantin. Patung itu berdiri tegak di tengah hutan kecil di ujung desa, menghadap ke arah matahari terbenam. Tingginya hampir dua meter, terbuat dari kayu jati tua yang warnanya menghitam karena usia dan cuaca. Ia mengenakan ukiran gaun pengantin yang rumit, dengan untaian bunga kayu yang tampak layu di tangannya.

Menurut legenda, patung itu adalah jelmaan dari seorang pengantin wanita bernama Arum. Dulu, Arum sangat mencintai tunangannya, seorang pemuda gagah berani bernama Surya. Mereka berjanji untuk mengikat janji suci di hari yang telah ditentukan. Namun, takdir berkata lain. Beberapa hari sebelum pernikahan, Surya pergi berlayar dan tak pernah kembali. Kapalnya diterjang badai dahsyat di lautan selatan.

Arum sangat terpukul. Ia menolak untuk percaya bahwa Surya telah tiada. Setiap hari, ia pergi ke hutan kecil itu, tempat di mana Surya pernah berjanji akan membangun rumah untuk mereka. Ia mengenakan gaun pengantinnya setiap hari, berharap Surya akan kembali dan menemukannya di sana.

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, namun Surya tak kunjung datang. Kesedihan Arum semakin mendalam hingga akhirnya ia jatuh sakit dan meninggal dunia di hutan itu, masih mengenakan gaun pengantinnya. Konon, sebelum menghembuskan napas terakhir, ia berbisik, "Aku akan menunggumu di sini, selamanya."

Setelah kematian Arum, penduduk desa menemukan sebuah patung kayu di tempat Arum sering menunggu. Patung itu persis menyerupai Arum dalam balutan gaun pengantinnya. Mereka percaya bahwa roh Arum telah menyatu dengan patung itu, terus menunggu kedatangan Surya.

Sejak saat itu, Patung Pengantin menjadi bagian dari cerita rakyat Desa Cempaka. Banyak yang mengatakan bahwa pada malam-malam tertentu, terutama saat bulan purnama, orang bisa mendengar suara lirih seorang wanita menangis di sekitar hutan itu. Ada juga yang mengaku melihat bayangan putih bergerak di dekat patung.

Para pemuda desa seringkali menjadikan Patung Pengantin sebagai bahan taruhan untuk menguji keberanian. Mereka akan pergi ke hutan itu tengah malam, mencoba menyentuh patung dan kembali sebelum fajar menyingsing. Namun, tak sedikit yang kembali dengan wajah pucat pasi dan cerita aneh tentang bisikan dan hawa dingin yang menusuk.

Suatu malam, seorang pemuda bernama Bayu, yang dikenal paling berani di desa, menantang dirinya sendiri untuk bermalam di dekat Patung Pengantin. Ia membawa obor, selimut, dan sebilah keris sebagai perlindungan.

Awalnya, malam itu terasa tenang. Suara jangkrik dan desahan angin di antara pepohonan menjadi satu-satunya teman Bayu. Namun, menjelang tengah malam, suasana mulai berubah. Udara terasa semakin dingin, dan obornya mulai meredup tanpa alasan yang jelas.

Tiba-tiba, Bayu mendengar suara lirih seorang wanita menangis. Suaranya sangat menyayat hati, penuh kesedihan yang mendalam. Bayu mencoba mencari sumber suara itu, namun semakin ia mendekat ke arah patung, suara itu semakin menghilang.

Kemudian, ia merasakan hawa dingin yang menusuk tulang. Bulu kuduknya berdiri. Ia melihat ke arah Patung Pengantin. Dalam remang cahaya obor, ia melihat sesuatu yang aneh. Bunga-bunga kayu di tangan patung itu tampak bergerak-gerak kecil, seolah tertiup angin padahal tidak ada angin sama sekali.

Bayu yang biasanya pemberani, kali ini merasakan ketakutan yang luar biasa. Ia ingin lari, namun kakinya terasa terpaku di tanah. Ia terus menatap patung itu dengan jantung berdebar kencang.

Tiba-tiba, patung itu tampak sedikit menoleh ke arahnya. Bayu melihat dengan jelas ukiran mata pada patung itu seolah memancarkan kesedihan yang tak terhingga. Bayu tidak tahan lagi. Ia berteriak dan berlari sekuat tenaga meninggalkan hutan itu, tanpa menoleh ke belakang.

Pagi harinya, Bayu kembali ke desa dengan wajah pucat dan tubuh gemetar. Ia menceritakan pengalamannya kepada penduduk desa. Sejak saat itu, tidak ada lagi yang berani mendekati Patung Pengantin di malam hari.

Patung Pengantin tetap berdiri di tengah hutan kecil itu, menjadi saksi bisu dari sebuah cinta yang abadi dan kesedihan yang mendalam. Penduduk Desa Cempaka percaya bahwa Arum masih terus menunggu Surya di sana, selamanya terperangkap dalam wujud patung pengantin. Mereka menghormati tempat itu dan tidak pernah mengganggunya, membiarkan Patung Pengantin tetap menjadi bagian dari legenda kelam desa mereka.

Comments

Popular posts from this blog

Fatamorgana

Penantian Tanpa Akhir

Ambiguitas dan Mimpi