Gara Gara Kentut
Hari itu, Rina merasa perutnya agak tidak enak sejak pagi. Mungkin karena sambal terlalu banyak saat makan siang di warung dekat kantor. Namun, kesibukan kerja membuatnya melupakan rasa tidak nyaman itu. Sampai akhirnya, rapat penting dengan klien pun dimulai di sebuah ruangan yang kedap suara.
Rina duduk di antara Pak Budi, atasannya yang perfeksionis, dan Mr. Tanaka, klien penting dari Jepang yang terkenal sangat menjaga sopan santun. Suasana rapat sangat serius. Pak Budi sedang menjelaskan proposal dengan penuh semangat, sementara Mr. Tanaka mendengarkan dengan anggukan-anggukan kecil dan sesekali mencatat.
Tiba-tiba, perut Rina bergejolak hebat. Ia merasakan tekanan yang luar biasa dan firasat buruk mulai menghantuinya. Ia berusaha sekuat tenaga untuk menahan diri, menarik napas dalam-dalam, dan mencoba mengalihkan perhatian pada presentasi Pak Budi.
Namun, alam memang sulit dilawan. Di tengah keheningan ruangan yang hanya diisi oleh suara Pak Budi dan sesekali gesekan pena Mr. Tanaka di atas kertas, sebuah bunyi lirih namun cukup jelas lolos dari pertahanan Rina. Bunyinya seperti bisikan angin yang tertahan, namun cukup untuk membuat Rina merasakan gelombang panas menjalar ke seluruh tubuhnya.
Seketika, Pak Budi terdiam. Mr. Tanaka mengangkat kepalanya dari catatannya dengan ekspresi bingung. Mata mereka berdua tanpa sengaja bertemu dengan mata Rina yang sudah memerah padam.
Waktu terasa berhenti. Rina ingin sekali menghilang saat itu juga. Ia mencoba memberikan senyuman canggung, berharap mereka mengira itu suara kursi bergeser atau mungkin suara dari luar ruangan.
Sayangnya, takdir berkata lain. Beberapa detik kemudian, menyusul bunyi lirih tadi, tercium aroma yang cukup "unik" memenuhi ruangan. Aroma yang tidak mungkin disalahartikan. Aroma yang langsung membuat wajah Pak Budi berubah menjadi pucat pasi, dan Mr. Tanaka tampak menahan napas dengan sopan.
Rina benar-benar ingin menelan bumi. Ia merasa seperti penjahat kelas kakap yang tertangkap basah melakukan kejahatan paling memalukan di muka bumi.
Pak Budi berusaha mencairkan suasana dengan batuk-batuk kecil dan melanjutkan presentasinya dengan suara yang sedikit bergetar. Sementara itu, Mr. Tanaka dengan profesionalismenya yang tinggi, berusaha tetap fokus pada penjelasan meskipun sesekali matanya melirik ke arah Rina dengan tatapan yang sulit diartikan.
Selama sisa rapat, Rina duduk dengan tegang. Setiap gerakan kecil di perutnya membuatnya panik. Ia berusaha bernapas sesedikit mungkin agar tidak menyebarkan "teror" lebih lanjut. Ia bahkan tidak berani menatap Pak Budi atau Mr. Tanaka.
Setelah rapat akhirnya selesai dengan canggung, Rina buru-buru pamit dengan alasan sakit perut dan langsung melarikan diri ke toilet. Di sana, ia bisa bernapas lega (secara harfiah). Ia meratapi nasibnya, membayangkan betapa memalukannya kejadian tadi.
Keesokan harinya, Rina datang ke kantor dengan perasaan was-was. Ia takut bertemu dengan Pak Budi dan terutama Mr. Tanaka. Namun, yang mengejutkan, Pak Budi bersikap biasa saja, seolah kejadian kemarin tidak pernah terjadi.
Saat berpapasan dengan Mr. Tanaka di lorong, klien asal Jepang itu justru tersenyum ramah padanya. Bahkan, dengan bahasa Inggris yang terbata-bata, ia berkata, "You... very... human!" sambil tertawa kecil.
Rina terkejut sekaligus lega. Ternyata, di balik keseriusannya, Mr. Tanaka memiliki selera humor juga. Mungkin baginya, kejadian kemarin adalah momen lucu yang menunjukkan sisi "manusiawi" dari tim Indonesia.
Sejak hari itu, Rina jadi lebih santai dan tidak terlalu khawatir dengan hal-hal kecil yang memalukan. Ia belajar bahwa setiap orang bisa mengalami kejadian memalukan, dan terkadang, hal-hal seperti itulah yang justru membuat hubungan antar manusia menjadi lebih dekat dan terasa lebih nyata. Dan setiap kali ia mengingat rapat "kentut" itu, Rina tidak bisa menahan senyum geli. Ternyata, gara-gara kentut, sebuah rapat penting bisa menjadi momen yang tak terlupakan (meskipun dengan alasan yang memalukan).
Comments
Post a Comment