Secangkir Kopi yang Membawamu Kembali
Hujan turun perlahan sore itu, membasahi trotoar di sudut kota. Aroma tanah basah bercampur dengan wangi kopi yang mengepul dari sebuah kafe kecil di pojokan jalan. Di sana, duduk seorang pria dengan sorot mata kosong, menatap cangkir kopi hitam di hadapannya.
Reza menghembuskan napas panjang. Setiap tetes hujan yang jatuh seperti mengantarkan kenangan yang selama ini ia coba kubur. Kafe ini, tempat ini, dan secangkir kopi di hadapannya—semuanya mengingatkannya pada seseorang yang pernah mengisi harinya dengan tawa, tangis, dan cinta.
"Aku pesan caramel latte, ya," suara lembut seorang wanita tiba-tiba terdengar.
Reza mendongak, dan seketika dadanya terasa sesak.
Di sana, berdiri seorang wanita dengan rambut panjang terurai, mengenakan sweater krem favoritnya. Senyum di wajahnya masih sama seperti yang ia ingat.
Alya.
Waktu seolah berhenti. Beberapa tahun telah berlalu sejak perpisahan mereka, tetapi semua rasa yang pernah ada seolah kembali dalam sekejap.
"Kamu masih suka kopi hitam tanpa gula, ya?" Alya bertanya sambil menatap cangkir di meja Reza.
Reza tersenyum kecil. "Dan kamu masih dengan caramel latte-mu."
Mereka tertawa kecil, sebuah tawa yang dulu begitu akrab namun kini terasa asing. Ada keheningan yang menggantung di antara mereka, seperti ada ribuan kata yang ingin diucapkan, tetapi tak tahu harus mulai dari mana.
Alya menarik kursi dan duduk di hadapan Reza. Matanya menatap lurus, mencoba mencari sesuatu dalam diri pria yang dulu pernah ia cintai.
"Bagaimana kabarmu?" tanyanya akhirnya.
Reza menatapnya sejenak, lalu mengaduk kopinya perlahan. "Baik… Seperti kopi ini, kadang pahit, tapi tetap bisa dinikmati."
Alya tersenyum tipis. "Kamu selalu suka berfilosofi soal kopi."
Reza tertawa kecil. "Dan kamu masih suka membalasnya dengan senyuman."
Mereka menghabiskan waktu berbincang, mengenang masa lalu, dan berbicara tentang kehidupan mereka setelah berpisah. Tidak ada air mata, tidak ada amarah—hanya dua orang yang pernah saling mencintai, bertemu kembali dalam suasana yang lebih dewasa.
Saat hujan mulai reda, Alya menatap jam tangannya. "Aku harus pergi," katanya dengan nada yang berat.
Reza mengangguk pelan. Ia tahu, pertemuan ini hanyalah momen singkat yang diberikan semesta.
"Sampai jumpa lagi, Reza," ucap Alya sambil berdiri.
Reza menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, "Sampai jumpa, Alya."
Alya melangkah pergi, meninggalkan aroma caramel latte yang perlahan memudar. Reza menatap cangkir kopinya, lalu tersenyum.
Ternyata, secangkir kopi tidak hanya membawa kenangan. Kadang, ia juga membawa seseorang kembali—meskipun hanya untuk sesaat.
Comments
Post a Comment