Cinta Itu Pengakuan

Aku mencintainya dalam diam.

Setiap pagi, aku melihatnya di sudut kafe favoritnya, menikmati secangkir kopi hitam tanpa gula. Aku tahu dia menyukai hujan, senja, dan buku-buku sastra klasik. Aku tahu dia lebih suka mendengar daripada berbicara, dan aku tahu senyumnya hanya muncul saat dia merasa benar-benar nyaman.

Aku mengenalnya lebih dari yang dia sadari, tapi aku tidak pernah punya keberanian untuk mengakuinya.

“Apa menurutmu cinta harus selalu diungkapkan?” tanyaku pada sahabatku suatu hari.

Dia tertawa. “Tentu saja. Cinta tanpa pengakuan hanyalah perasaan yang tak pernah benar-benar hidup.”

Aku terdiam. Apa jadinya jika aku mengungkapkan perasaan ini? Apakah dia akan tersenyum atau justru menghilang dari kehidupanku?

Hari itu, aku memberanikan diri duduk di meja seberangnya. Jantungku berdegup kencang saat dia menoleh dan menatapku, seolah menunggu aku bicara.

“Boleh aku duduk di sini?” tanyaku.

Dia tersenyum kecil. “Tentu.”

Dan di situlah aku belajar sesuatu—cinta bukan hanya soal perasaan yang disimpan, tapi juga keberanian untuk mengakuinya.

Ungkapan "cinta itu pengakuan" memiliki makna yang mendalam dan dapat diinterpretasikan dalam berbagai cara, bergantung pada konteks dan pengalaman individu. Secara umum, ungkapan ini menyoroti aspek penting dari cinta, yaitu pengakuan dan penerimaan.

Secara keseluruhan, ungkapan "cinta itu pengakuan" mengingatkan kita bahwa cinta bukan hanya tentang perasaan romantis, tetapi juga tentang tindakan nyata yang menunjukkan penghargaan dan penerimaan terhadap diri sendiri dan orang lain.

Comments

Popular posts from this blog

Fatamorgana

Penantian Tanpa Akhir

Ambiguitas dan Mimpi