Menyayangi Bukan Dari Penyesalan

Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, meninggalkan semburat jingga yang membingkai siluet pohon-pohon di taman kota. Aurel duduk di bangku kayu, tangannya menggenggam secangkir cokelat hangat yang sudah mulai mendingin. Ia menatap seorang pria yang berdiri tidak jauh darinya—Reza.

"Apa kabarmu?" suara Reza terdengar ragu, seakan takut dengan jawaban yang akan ia dengar.

Aurel tersenyum kecil. "Baik," jawabnya singkat.

Ada keheningan di antara mereka. Hanya suara angin yang meniup dedaunan, menciptakan melodi samar yang mengiringi kisah yang belum selesai.

Dulu, mereka adalah sepasang kekasih yang tak terpisahkan. Reza, dengan senyumnya yang meneduhkan, adalah dunia bagi Aurel. Namun, kesalahan dan egonya telah membuatnya kehilangan perempuan itu.

"Aku tahu... Aku pernah menyakitimu," suara Reza lirih, penuh penyesalan. "Dan aku menyesal."

Aurel menghela napas, menatap lurus ke depan. "Penyesalan tidak akan mengubah apa pun, Reza. Aku tidak butuh seseorang yang mencintaiku karena merasa bersalah. Aku butuh seseorang yang menyayangiku tanpa harus melewati penyesalan lebih dulu."

Reza terdiam. Ia tahu kata-kata itu benar. Dulu, ia memilih pergi, mengejar sesuatu yang ia pikir lebih berarti. Baru setelah kehilangan, ia menyadari bahwa Aurel adalah rumahnya.

"Tapi aku ingin memperbaiki semuanya," katanya penuh harap.

Aurel tersenyum, kali ini lebih tulus. "Aku sudah memaafkanmu. Tapi aku juga telah belajar bahwa menyayangi seseorang bukan berarti harus kembali padanya. Aku menyayangimu, Reza, tapi bukan karena aku menyesal kehilanganmu—melainkan karena aku sudah belajar melepaskan dengan ikhlas."

Angin kembali berhembus, membawa kedamaian yang lama hilang. Reza menunduk, menyadari bahwa kesempatan kedua yang ia harapkan tidak akan pernah datang.

Namun, di balik rasa sakit itu, ia tahu satu hal—cinta sejati bukanlah tentang memiliki, melainkan tentang merelakan seseorang untuk bahagia, meskipun bukan bersamanya.

Dan pada akhirnya, mereka berdua memilih untuk pergi ke arah yang berbeda—bukan karena kebencian, tetapi karena mereka sudah belajar apa arti menyayangi yang sesungguhnya.

Comments

Popular posts from this blog

Fatamorgana

Penantian Tanpa Akhir

Ambiguitas dan Mimpi