Jatuh Cinta Saat Hujan
Langit mendung menggantung di atas kota kecil itu. Udara dingin menyelimuti trotoar yang basah oleh gerimis. Di bawah payung biru yang agak miring, aku berdiri di depan halte bus, menatap jalanan yang mulai tergenang air.
Semuanya terasa biasa saja, sampai dia datang.
Dia berlari kecil, rambutnya yang hitam panjang basah oleh hujan, menempel di pipinya. Nafasnya tersengal, namun senyumnya tetap hadir. Ia berdiri di sampingku, merapikan helaian rambut yang menutupi wajahnya, lalu tersenyum kikuk.
"Kamu nggak bawa payung?" tanyaku tanpa sadar.
Dia menggeleng, tertawa kecil. "Biasanya sih ada di tas, tapi hari ini kayaknya lupa," jawabnya sambil mengusap lengan bajunya yang basah.
Aku spontan menggeser payungku sedikit ke arahnya. "Kalau nggak keberatan, kita bisa berbagi."
Dia terdiam sejenak, kemudian mengangguk pelan. "Makasih."
Sepanjang menunggu bus, obrolan kecil pun mengalir. Tentang hujan yang selalu datang tiba-tiba, tentang kenangan masa kecil di bawah rinai hujan, dan tentang impian yang masih menggantung di angan. Aku bahkan tak sadar sudah banyak bercerita, dan dia mendengarkan dengan penuh perhatian.
Ketika bus akhirnya tiba, aku mengajaknya naik. Kami duduk berdampingan di kursi dekat jendela. Ia menatap keluar dengan pandangan yang sulit kutafsirkan, lalu tiba-tiba berkata, "Aku suka hujan. Rasanya seperti memberi kesempatan baru."
Aku tersenyum. "Kesempatan baru untuk apa?" tanyaku penasaran.
Dia menoleh, matanya berbinar. "Mungkin... untuk memulai sesuatu yang baru. Seperti pertemanan, atau mungkin lebih dari itu?"
Aku tertawa kecil, mencoba menutupi detak jantung yang tiba-tiba berpacu lebih cepat. Di luar, hujan masih terus turun, membasahi kota. Namun, di dalam hati, aku merasa ada sesuatu yang perlahan tumbuh. Sesuatu yang hangat, meski di tengah dinginnya hujan.
Dan hari itu, aku sadar—aku jatuh cinta saat hujan.
Comments
Post a Comment