Malin Kundang: Anak Durhaka

Pada zaman dahulu, di sebuah desa kecil di pesisir pantai Sumatra, hiduplah seorang ibu miskin bersama anaknya yang bernama Malin Kundang. Sang ibu sangat menyayangi Malin, meskipun kehidupan mereka penuh dengan kekurangan. Malin tumbuh menjadi seorang pemuda yang cerdas dan kuat, tetapi ia sering merasa malu karena kemiskinan keluarganya.

Impian untuk Merantau
Suatu hari, Malin memutuskan untuk merantau ke kota besar guna mencari kehidupan yang lebih baik. "Ibu, aku ingin pergi ke kota untuk mencari kerja. Aku berjanji akan kembali dan membahagiakan ibu," katanya. Dengan berat hati, sang ibu mengizinkan anaknya pergi, meskipun ia merasa kesepian.

Malin pun berlayar dengan sebuah kapal dagang. Di perjalanan, ia bekerja keras dan belajar berdagang hingga akhirnya menjadi seorang pedagang kaya. Kekayaan dan kesuksesan membuatnya lupa pada ibunya yang telah menunggunya di desa.

Pulang dengan Kesombongan
Setelah bertahun-tahun, Malin kembali ke desanya, tetapi bukan untuk menemui ibunya. Ia datang bersama istrinya yang cantik dengan sebuah kapal megah. Ketika sang ibu mendengar kabar bahwa Malin telah kembali, ia bergegas ke pantai untuk menemuinya. Sang ibu merasa sangat bahagia dan berkata, "Malin, anakku! Akhirnya kau kembali!"

Namun, Malin merasa malu mengakui ibunya di depan istrinya dan anak buahnya. "Aku tidak mengenal wanita miskin ini," katanya dengan angkuh. Sang ibu terkejut dan kecewa. Ia berusaha mengingatkan Malin tentang janji yang pernah ia buat, tetapi Malin tetap tidak mengakuinya.

Kutukan Sang Ibu
Dengan hati yang hancur, sang ibu menangis dan berkata, "Malin, jika kau benar-benar anakku, aku doakan kau mendapat balasan atas perbuatanmu!" Seketika langit menjadi gelap, badai besar datang, dan petir menggelegar. Kapal Malin dihantam gelombang besar, lalu tenggelam.

Malin pun berubah menjadi batu karena kutukan ibunya. Batu itu masih dapat dilihat di pesisir pantai hingga sekarang, menyerupai sosok manusia yang sedang berlutut. Kisah ini menjadi pelajaran bahwa kita harus menghormati orang tua dan tidak melupakan asal-usul kita.

Comments

Popular posts from this blog

Fatamorgana

Penantian Tanpa Akhir

Ambiguitas dan Mimpi