Sebuah Jawaban diujung Jurang
Angin dingin mencambuk wajah Arya saat ia berdiri di tepi jurang. Di bawahnya, kegelapan menganga, menelan suara deburan ombak yang menghantam karang. Pikirannya kalut, dipenuhi penyesalan dan keputusasaan. Beberapa hari terakhir terasa seperti mimpi buruk yang tak berkesudahan. Bisnisnya bangkrut, keluarganya terpecah, dan kini, ia merasa tak punya apa-apa lagi untuk diperjuangkan.
Ia datang ke tempat ini bukan tanpa alasan. Jurang ini dikenal sebagai "akhir dari segalanya" oleh penduduk setempat. Banyak yang datang ke sini untuk mengakhiri keputusasaan mereka. Arya pun demikian. Ia merasa sudah mencapai batasnya.
Di tangannya tergenggam erat sebuah surat yang belum sempat ia kirimkan. Surat perpisahan untuk satu-satunya orang yang masih ia pedulikan, adiknya, Risa. Ia tidak ingin Risa menyalahkan dirinya atas keputusannya ini. Ia ingin adiknya tahu bahwa ia sudah terlalu lelah untuk terus berjuang.
Saat Arya memejamkan mata, bersiap untuk melangkah maju, tiba-tiba ia mendengar suara lirih memanggil namanya.
"Mas Arya?"
Ia terkejut dan membuka matanya. Di belakangnya berdiri seorang wanita tua dengan keranjang anyaman di tangannya. Wajahnya keriput, namun matanya memancarkan kehangatan yang tak terduga.
"Kamu... mengenalku?" tanya Arya heran.
Wanita itu tersenyum lembut. "Saya Mbok Darmi. Saya sering melihat kamu duduk termenung di sini beberapa hari terakhir. Ada masalah, Nak?"
Arya terdiam sejenak. Ia tidak tahu harus berkata apa kepada wanita asing ini. Namun, kehangatan dalam tatapan Mbok Darmi membuatnya merasa sedikit tenang.
"Saya... saya sedang menghadapi masalah yang sangat berat, Mbok," jawab Arya akhirnya, suaranya tercekat.
Mbok Darmi mengangguk pelan. "Hidup memang penuh dengan ujian, Nak. Kadang terasa berat sekali sampai kita merasa tidak sanggup lagi."
Arya kembali terdiam, memandang ke arah jurang.
"Tapi," lanjut Mbok Darmi dengan nada yang lebih tegas, "apakah lari dari masalah adalah jawaban yang sebenarnya? Apakah dengan melompat ke jurang ini, semua masalahmu akan selesai?"
Pertanyaan itu menusuk hati Arya. Ia tahu Mbok Darmi benar. Lari bukanlah solusi. Namun, ia merasa tidak punya pilihan lain.
"Saya sudah tidak punya apa-apa lagi, Mbok. Semuanya hilang," lirih Arya.
Mbok Darmi meletakkan keranjangnya dan berjalan mendekati Arya. "Kamu bilang semuanya hilang? Apa kamu yakin?"
Arya mengangguk lemah.
"Lalu, surat di tanganmu itu untuk siapa?" tanya Mbok Darmi, menunjuk surat yang masih digenggam Arya.
"Untuk adik saya," jawab Arya.
"Kamu masih punya adik, Nak. Itu artinya, kamu masih punya keluarga. Kamu masih punya seseorang yang peduli padamu. Bukankah itu sesuatu yang berharga?"
Kata-kata Mbok Darmi seperti tamparan lembut yang menyadarkan Arya. Ia memang kehilangan banyak hal, tetapi ia masih memiliki Risa. Adiknya adalah satu-satunya alasan ia masih bertahan selama ini. Bagaimana bisa ia melupakan itu dalam keputusasaannya?
"Dan lihatlah sekelilingmu, Nak," lanjut Mbok Darmi sambil mengulurkan tangannya, menunjuk pemandangan di sekitar mereka. "Kamu berdiri di atas tanah yang subur. Kamu menghirup udara segar. Kamu melihat matahari yang sebentar lagi terbenam dengan indahnya. Bukankah itu semua adalah anugerah?"
Arya menatap sekelilingnya. Ia baru menyadari keindahan alam yang selama ini ia abaikan karena dibutakan oleh masalahnya. Angin yang menerpa wajahnya terasa menyegarkan, bukan lagi dingin dan mengancam.
"Masih ada harapan, Nak. Selama kamu masih bernapas, selama kamu masih punya orang yang kamu sayangi, selalu ada harapan. Jawaban atas masalahmu mungkin tidak ada di ujung jurang ini, tetapi mungkin ada di setiap langkah yang kamu ambil setelah ini."
Mbok Darmi kemudian menceritakan pengalamannya sendiri. Ia juga pernah menghadapi masa-masa sulit dalam hidupnya, kehilangan orang yang dicintainya dan berjuang untuk bertahan hidup. Namun, ia memilih untuk bangkit dan mencari jawaban di setiap harinya.
Kata-kata Mbok Darmi menyentuh hati Arya. Ia mulai merasakan setitik harapan yang selama ini terkubur dalam keputusasaannya. Ia tidak sendirian. Masih ada adiknya, dan masih ada kemungkinan untuk memperbaiki hidupnya.
Perlahan, Arya menurunkan surat perpisahannya. Ia menatap Mbok Darmi dengan mata yang berkaca-kaca. "Terima kasih, Mbok. Terima kasih banyak."
Mbok Darmi tersenyum lega. "Jangan berterima kasih padaku, Nak. Berterima kasihlah pada dirimu sendiri karena telah memilih untuk tidak menyerah. Sekarang, mari kita pulang. Hari sudah semakin gelap."
Arya mengangguk. Ia mengikuti Mbok Darmi menjauhi tepi jurang. Langkahnya terasa lebih ringan, pikirannya sedikit lebih jernih. Di ujung jurang yang tadinya ia anggap sebagai akhir dari segalanya, ia justru menemukan sebuah jawaban: bahwa menyerah bukanlah pilihan, dan harapan selalu ada, bahkan di tempat yang paling gelap sekalipun. Jawaban itu mungkin tidak instan, tetapi setidaknya, ia tahu ke mana ia harus mencari. Bukan ke jurang, melainkan kembali ke kehidupan, kembali ke adiknya, dan kembali berjuang.
Comments
Post a Comment