Menunggu Waktu yang Tak Kian Pasti
Mentari pagi di Sihanoukville menyapa jendela kamar Nara dengan sinarnya yang lembut. Namun, kehangatan itu tak sepenuhnya menjalar ke hatinya. Di tangannya tergenggam erat ponsel, layarnya masih menampilkan percakapan terakhirnya dengan Samudra, tiga hari yang lalu. Pesan singkat, "Sedikit sibuk, Sayang. Kabari lagi ya."
Tiga hari terasa seperti tiga tahun bagi Nara. Setiap notifikasi yang masuk selalu membuatnya berharap itu adalah Samudra, namun selalu berakhir dengan kekecewaan. Mereka terpisah jarak yang membentang antara gemerlap kota pesisir Kamboja ini dengan hiruk pikuk ibukota tempat Samudra bekerja.
Mereka bertemu di sini, setahun lalu, saat Samudra berlibur. Cinta tumbuh secepat ombak yang mengejar pantai. Janji-janji terucap di bawah langit senja yang memukau. Namun, realita kembali menghantam ketika liburan usai. Samudra harus kembali bekerja, dan Nara memiliki kehidupannya di sini.
"Kita jalani saja ya, Sayang. Nanti pasti ada waktu yang tepat," begitu kata Samudra saat itu. Waktu yang tepat... sebuah frasa yang kini terasa begitu kabur dan tak pasti.
Nara menghela napas, bangkit dari tempat tidur, dan melangkah ke balkon. Laut biru membentang luas di hadapannya, tenang namun menyimpan kekuatan yang tak terduga. Ia merindukan Samudra, bukan hanya kehadirannya, tetapi juga kepastian akan masa depan mereka.
Teman-temannya sering bertanya, "Kapan Samudra akan pindah ke sini?" atau "Kapan kalian akan menikah?" Pertanyaan-pertanyaan itu selalu dijawab Nara dengan senyum getir dan jawaban yang sama, "Menunggu waktu yang tepat."
Namun, semakin lama penantian ini terasa, semakin besar keraguan yang menghantuinya. Apakah waktu yang tepat itu benar-benar akan tiba? Atau apakah mereka hanya sedang menunda sebuah perpisahan yang tak terhindarkan?
Suara dering ponsel membuyarkan lamunannya. Jantung Nara berdegup kencang. Dengan tangan gemetar, ia meraih ponselnya. Sebuah nama asing tertera di layar. Bukan Samudra.
Kekecewaan kembali menyelimuti hatinya. Ia menjawab panggilan itu dengan suara yang dibuat ceria, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang mencengkeram.
Hari-hari berlalu tanpa kabar yang berarti dari Samudra. Nara mencoba menyibukkan diri dengan pekerjaannya sebagai pengelola sebuah penginapan kecil. Ia berinteraksi dengan wisatawan, mendengarkan cerita mereka, dan sesekali tersenyum. Namun, di balik senyum itu, tersembunyi sebuah penantian yang tak berujung.
Suatu sore, saat Nara sedang menikmati kopi di tepi pantai, matanya menangkap sesosok pria yang familiar sedang berjalan ke arahnya. Jantungnya berdebar kencang. Itu Samudra.
Namun, ada yang berbeda. Samudra tidak sendiri. Di sampingnya berjalan seorang wanita, tertawa renyah sambil menggandeng lengannya.
Dunia Nara terasa runtuh seketika. Cangkir kopi di tangannya nyaris terjatuh. Ia terpaku, tak mampu bergerak atau bersuara.
Samudra dan wanita itu semakin mendekat. Ketika mata Samudra bertemu dengan mata Nara, keterkejutan jelas terlihat di wajahnya. Ia melepaskan genggaman tangan wanita itu dan berjalan cepat menghampiri Nara.
"Nara... ini tidak seperti yang kamu pikirkan," ucap Samudra dengan nada gugup.
Namun, Nara sudah tidak mendengarkan. Waktu yang tak kian pasti itu akhirnya tiba, bukan sebagai waktu untuk bersama, tetapi sebagai waktu untuk sebuah kenyataan pahit yang selama ini ia hindari. Penantiannya telah usai, bukan dengan kebahagiaan, melainkan dengan sebuah akhir yang tak pernah ia bayangkan.
Comments
Post a Comment