Kata Lain dari Cinta Adalah Persahabatan
Di sudut kota yang tenang, di antara deretan toko buku bekas dan kafe-kafe kecil, hiduplah dua jiwa yang terikat oleh benang yang tak terlihat: Arka dan Luna. Mereka bukan sepasang kekasih dalam arti romantis yang biasa. Tak ada janji pernikahan, tak ada ciuman di bawah gerimis, apalagi drama cemburu yang menguras emosi. Hubungan mereka lebih dari itu, lebih dalam, lebih sunyi, dan jauh lebih kuat. Bagi mereka, cinta adalah persahabatan.
Pertemuan pertama mereka delapan tahun lalu adalah hal yang paling biasa, di sebuah seminar sastra yang membosankan. Arka, dengan kacamata tebalnya dan tumpukan buku di tangan, tak sengaja menumpahkan kopi panasnya ke rok Luna yang bermotif bunga. Luna, alih-alih marah, justru tertawa renyah, "Setidaknya sekarang rok saya punya cerita!" Sejak saat itu, percakapan mengalir tanpa henti. Mereka menemukan kesamaan dalam banyak hal: kecintaan pada hujan, alergi terhadap bawang putih, dan mimpi untuk keliling dunia hanya dengan ransel.
Persahabatan mereka tumbuh seperti akar pohon yang tak terlihat, menembus lapisan-lapisan tanah hingga mencapai kedalaman yang tak terduga. Mereka adalah pelabuhan aman satu sama lain. Ketika Arka gagal dalam wawancara kerja impiannya, Luna ada di sana, bukan dengan kata-kata klise, melainkan dengan dua gelas cokelat panas dan janji untuk menemaninya melamar pekerjaan lain keesokan harinya. Saat Luna kehilangan neneknya, Arka tak perlu bicara banyak. Dia hanya menggenggam tangan Luna di pemakaman, berbagi beban kesedihan tanpa perlu diminta.
Tidak ada rasa canggung saat mereka berbagi rahasia terdalam, ketakutan tergelap, atau impian terliar. Arka tahu setiap titik lemah Luna, dan Luna tahu setiap kelemahan Arka. Tapi alih-alih menggunakannya sebagai senjata, mereka justru saling menjaga, saling melengkapi. Mereka adalah cermin jujur satu sama lain, memantulkan kelebihan dan kekurangan tanpa penghakiman.
Orang-orang sering bertanya, "Kapan kalian pacaran?" atau "Kalian ini sebenarnya apa?" Arka dan Luna hanya tersenyum. Sulit menjelaskan kepada dunia yang terobsesi dengan label, bahwa ikatan mereka melampaui definisi konvensional. Mereka tidak mencari gairah yang membara sesaat, melainkan kehangatan yang stabil, dukungan yang tak tergoyahkan, dan pengertian yang tak terbatas.
Suatu malam, saat mereka duduk di bangku taman favorit mereka, di bawah taburan bintang, Luna bersandar di bahu Arka. "Menurutmu, apa itu cinta, Ka?" tanyanya pelan.
Arka terdiam sejenak, memikirkan setiap momen yang telah mereka lalui bersama. "Cinta itu… ketika kamu tahu ada seseorang yang selalu ada, tidak peduli apa yang terjadi," jawabnya. "Ketika kamu bisa menjadi dirimu sendiri seutuhnya, tanpa topeng. Ketika kebahagiaannya adalah kebahagiaanmu, dan sakitnya adalah sakitmu. Itu ketika kamu tahu, di antara miliaran manusia di dunia, ada satu jiwa yang paling mengerti dan menerima kamu."
Luna mendongak, menatap mata Arka yang teduh. "Seperti kita?"
Arka tersenyum, mengangguk. "Ya, seperti kita. Bagiku, kata lain dari cinta adalah persahabatan yang tak terpecahkan ini."
Dan di bawah cahaya rembulan, mereka tahu, bahwa cinta mereka bukan hanya sebuah perasaan, melainkan sebuah pondasi kokoh yang dibangun dari tawa, air mata, dukungan, dan pengertian. Sebuah persahabatan yang adalah, dan akan selalu menjadi, bentuk cinta yang paling murni dan abadi bagi mereka.
Comments
Post a Comment