Janji Musim Panas
Angin musim panas berdesir pelan, membawa aroma bunga melati dan sedikit asin dari laut yang tak jauh. Di bawah pohon mangga rindang di halaman belakang rumah Nenek, Maya dan Reno duduk berhadapan. Matahari sore menyaring di antara dedaunan, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang menari-nari di wajah mereka.
"Aku akan merindukanmu, Reno," kata Maya, suaranya sedikit serak. Dia memutar-mutar untaian gelang persahabatan yang terbuat dari manik-manik berwarna-warni di pergelangan tangannya.
Reno mengangguk, matanya menatap rumput di antara kaki mereka. "Aku juga, Maya. Tapi kan cuma sebentar. Dua bulan, itu tidak lama."
Setiap tahun, saat liburan sekolah tiba, Reno akan kembali ke kampung halamannya di kota. Tahun ini adalah yang terakhir mereka bisa menghabiskan seluruh liburan bersama di desa, sebelum mereka masuk SMP dan mungkin kesibukan akan memisahkan mereka.
"Janji ya, kamu akan menulis surat?" tanya Maya, mendongak.
Reno tersenyum tipis. "Janji. Dan kamu juga harus membalasnya. Jangan sampai aku menunggu terlalu lama."
Mereka berdua tahu, surat adalah satu-satunya cara mereka bisa berkomunikasi. Ponsel pintar belum banyak dimiliki, apalagi di desa. Pertemuan langsung adalah kemewahan, dan surat adalah jembatan.
"Aku akan menuliskan semua petualangan baruku di sana. Tentang sekolah, tentang teman-teman baru," kata Reno, semangatnya sedikit kembali.
"Dan aku akan menulis tentang kebun Nenek, tentang ayam-ayam yang semakin banyak, dan tentang ikan-ikan di sungai," balas Maya, berusaha ceria.
Sore itu, mereka menghabiskan waktu dengan merangkai mimpi dan janji. Janji untuk tidak melupakan, janji untuk tetap terhubung, janji untuk selalu menjadi sahabat. Saat senja tiba, Reno harus pulang. Mereka berpelukan erat, seolah ingin menyimpan kehangatan satu sama lain.
Musim panas berlalu. Surat-surat benar-benar berdatangan. Reno bercerita tentang hiruk pikuk kota, tentang pelajaran-pelajaran yang menantang, dan tentang rindu yang tak terucap. Maya membalasnya dengan kisah-kisah sederhana dari desa, tentang bintang-bintang yang lebih terang di sana, dan tentang kesunyian yang menenangkan. Setiap surat adalah pengingat akan janji yang mereka ukir di bawah pohon mangga.
Akhirnya, liburan usai. Hari kepulangan Reno tiba. Maya menunggunya di depan rumah, jantungnya berdebar kencang. Saat Reno turun dari bus, mereka berpandangan. Ada senyum yang sama, ada mata yang berbinar, dan ada perasaan hangat yang tak berubah.
"Aku datang," kata Reno, suaranya sedikit lebih dalam.
"Aku tahu," jawab Maya, matanya berkaca-kaca.
Mereka tak perlu banyak kata. Pelukan erat itu sudah cukup. Janji musim panas telah ditepati. Dan di bawah langit senja yang sama, mereka tahu, persahabatan mereka akan terus tumbuh, sekuat pohon mangga yang menjadi saksi bisu janji mereka.
Comments
Post a Comment