Ketika Dia Yang Aku Harapkan Untuk Masa Depanku, Ternyata Bukan Dia
Mentari sore memeluk hangat kafe tempat Risa dan Arya sering menghabiskan waktu. Aroma kopi dan tawa pelan pengunjung menjadi latar percakapan mereka. Di mata Risa, Arya adalah peta masa depannya. Pria itu cerdas, penuh semangat, dan selalu bisa membuatnya merasa aman dan dimengerti. Mereka sering berbagi mimpi; tentang rumah kecil dengan taman luas, tentang perjalanan keliling dunia, tentang tawa anak-anak yang memenuhi pagi mereka.
Risa sudah membayangkan dengan jelas setiap detailnya. Arya akan menjadi sosok ayah yang penyayang, teman hidup yang setia, dan partner dalam meraih semua impian mereka. Ia merasa beruntung telah menemukan seseorang yang visinya tentang masa depan sejalan dengannya.
Namun, seiring berjalannya waktu, Risa mulai merasakan ada yang berbeda. Percakapan mereka tak lagi sepenuhnya tentang "kita," tapi lebih sering tentang "aku" dan "kamu." Arya semakin fokus pada kariernya yang menanjak, menghabiskan banyak waktu di luar kota. Risa mendukungnya, tentu saja, tapi ia merindukan kebersamaan dan diskusi hangat tentang masa depan yang dulu selalu mereka nikmati.
Suatu malam, di bawah rembulan yang samar, Arya mengungkapkan sesuatu yang membuat jantung Risa mencelos. Ia diterima bekerja di sebuah perusahaan multinasional di Eropa. Ini adalah kesempatan emas yang selalu ia impikan, dan ia berniat untuk mengambilnya.
Risa terdiam. Eropa. Itu bukan bagian dari peta masa depan yang mereka gambar bersama. Rasa dingin menjalari tubuhnya, bukan karena angin malam, tapi karena kenyataan yang tiba-tiba menghantamnya.
"Dan kita?" tanya Risa lirih, mencoba menyembunyikan getar dalam suaranya.
Arya menatapnya dengan ekspresi bersalah. "Risa, ini impianku. Aku tahu ini berat, tapi aku harap kamu bisa mengerti."
Di saat itu, Risa menyadari sebuah kebenaran yang pahit. Peta masa depan yang selama ini ia yakini, ternyata hanya digambar oleh satu orang. Arya memang sosok yang ia harapkan, namun impian dan jalannya ternyata tidak sepenuhnya searah dengannya.
Malam itu menjadi titik balik. Risa merasa dunianya sedikit retak. Semua bayangan indah tentang masa depan bersama Arya perlahan memudar, digantikan oleh kekosongan dan pertanyaan tentang arah hidupnya sendiri.
Perpisahan itu tidak mudah. Ada air mata, ada rasa kehilangan yang mendalam. Namun, di tengah kesedihan itu, Risa mulai melihat secercah cahaya. Ia menyadari bahwa ia memiliki hak untuk menggambar peta masa depannya sendiri, tanpa harus terpaku pada harapan yang ternyata tidak sejalan.
Waktu menyembuhkan luka. Risa mulai membuka diri pada kemungkinan-kemungkinan baru. Ia kembali menekuni hobinya, bertemu teman-teman baru, dan perlahan membangun kembali visinya tentang masa depan. Ia belajar bahwa kebahagiaan tidak harus selalu tentang "kita," tapi juga tentang menemukan kedamaian dan tujuan dalam diri sendiri.
Dan suatu hari, Risa menyadari bahwa meskipun Arya pernah menjadi bagian penting dari harapannya, kenyataan bahwa mereka tidak bersama justru membuka ruang bagi masa depan yang mungkin lebih indah dan lebih sesuai dengan dirinya yang sebenarnya. Ia belajar bahwa terkadang, melepaskan harapan adalah langkah pertama untuk menemukan kebahagiaan yang sejati.
Comments
Post a Comment