Kebenaran Yang Tidak Terlihat Oleh Mata
Di sebuah desa nelayan kecil di pesisir Sihanoukville, tersembunyi di balik rimbun pohon kelapa dan deburan ombak yang tenang, hiduplah seorang wanita tua bernama Mak Cik Murni. Matanya yang rabun tak lagi mampu melihat jernihnya laut atau warna-warni perahu yang berlabuh, namun hatinya menyimpan kebijaksanaan yang jauh melampaui penglihatan fisik.
Orang-orang desa sering datang padanya, bukan untuk meminta ramalan, melainkan untuk mencari ketenangan dan perspektif baru dalam menghadapi masalah. Mak Cik Murni tidak pernah memberikan jawaban instan. Ia akan mengajak mereka duduk di beranda rumahnya yang sederhana, ditemani aroma bunga kamboja yang semerbak, dan mendengarkan dengan penuh perhatian.
Suatu hari, seorang pemuda bernama Budi datang dengan wajah kusut. Ia baru saja kehilangan pekerjaannya di sebuah resort karena krisis ekonomi. Rasa marah, kecewa, dan putus asa bercampur aduk dalam hatinya.
"Mak Cik," keluh Budi, "Dunia ini tidak adil. Saya sudah bekerja keras, tapi tetap saja menjadi korban."
Mak Cik Murni tersenyum lembut. "Budi, coba pejamkan matamu."
Budi menurut. Keheningan menyelimuti mereka, hanya desiran angin yang terdengar.
"Apa yang kamu rasakan dalam kegelapan?" tanya Mak Cik Murni.
Budi terdiam sejenak. "Kosong... hampa..."
"Itulah yang sering kita rasakan saat hanya melihat dengan mata," kata Mak Cik Murni pelan. "Kegelapan menyembunyikan banyak hal, namun bukan berarti tidak ada apa-apa."
Ia melanjutkan, "Coba rasakan dengan hatimu. Apa yang masih ada di sana?"
Budi kembali terdiam, mencoba menyelami perasaannya. Perlahan, ia merasakan setitik harapan yang selama ini tertutup oleh kekecewaan. Ia juga merasakan kasih sayang keluarganya yang selalu mendukungnya.
"Saya... saya masih merasakan harapan, Mak Cik. Dan juga... kasih sayang keluarga saya," jawab Budi dengan suara sedikit bergetar.
Mak Cik Murni mengangguk. "Benar, Budi. Kebenaran seringkali tidak terlihat oleh mata. Mata hanya melihat permukaan, kejadian yang tampak. Namun, hati bisa merasakan lebih dalam, melihat potensi yang tersembunyi, dan menghargai hal-hal yang sering kita lupakan."
Ia mengambil sebuah keranjang anyaman yang berisi berbagai macam biji-bijian. "Lihatlah keranjang ini, Budi. Di dalamnya ada biji padi, jagung, kacang, dan banyak lagi. Jika kita hanya melihat sekilas, kita mungkin hanya melihat campuran biji yang tidak beraturan. Namun, setiap biji memiliki potensi untuk tumbuh menjadi tanaman yang bermanfaat."
"Begitu juga dengan kehidupan," lanjut Mak Cik Murni. "Kehilangan pekerjaan memang menyakitkan, seperti kegelapan yang menyelimuti. Tapi di dalamnya, ada potensi untuk menemukan jalan baru, mengembangkan diri, dan bahkan menemukan pekerjaan yang lebih baik. Kamu hanya perlu melihat dengan hatimu, merasakan peluang yang mungkin selama ini tersembunyi."
Budi terdiam, merenungkan kata-kata Mak Cik Murni. Ia mulai menyadari bahwa selama ini ia terlalu fokus pada apa yang hilang, hingga melupakan apa yang masih ia miliki dan potensi yang ada di dalam dirinya.
Sejak hari itu, Budi mulai melihat situasinya dengan cara yang berbeda. Ia tidak lagi terpaku pada rasa kecewa, melainkan mulai mencari peluang-peluang baru. Ia menggunakan waktu luangnya untuk belajar keterampilan baru dan menjalin kembali koneksi dengan teman-teman lamanya.
Beberapa minggu kemudian, Budi kembali menemui Mak Cik Murni dengan senyum cerah di wajahnya. Ia bercerita bahwa ia telah mendapatkan tawaran pekerjaan yang lebih baik, yang sesuai dengan minat dan bakatnya.
"Terima kasih, Mak Cik," kata Budi tulus. "Kata-kata Mak Cik telah membuka mata hati saya. Saya belajar bahwa kebenaran yang sesungguhnya seringkali tidak terlihat oleh mata, tetapi bisa dirasakan oleh hati."
Mak Cik Murni tersenyum bijak. "Ingatlah selalu, Budi. Mata bisa menipu, tapi hati selalu jujur. Dengarkanlah bisikannya, dan kamu akan menemukan kebenaran yang sejati dalam setiap situasi."
Dan di desa nelayan yang tenang itu, kisah tentang Mak Cik Murni terus diceritakan, mengingatkan setiap orang bahwa untuk melihat keindahan dan kebenaran sejati dalam hidup, terkadang kita perlu melihat dengan hati, bukan hanya dengan mata.
Comments
Post a Comment