Curahan Hati Untuk Tuhan

Di sebuah desa kecil yang tenang, di mana debur ombak Samudra Hindia menjadi melodi sehari-hari, hiduplah seorang wanita bernama Senja. Usianya senja memang, tak lagi muda, namun matanya menyimpan kilau pengalaman dan kelelahan hidup. Suatu malam, ketika rembulan menggantung bagai lentera perak di langit Preah Sihanouk yang gelap, Senja duduk di beranda rumahnya yang sederhana. Angin malam membawa aroma garam dan bunga kamboja, menemaninya dalam kesunyian.

Hatinya terasa berat. Beban hidup seolah menumpuk tanpa ampun. Anak-anaknya merantau jauh, mencari rezeki di negeri orang. Suaminya telah lama berpulang, meninggalkan ia seorang diri. Kesehatan pun tak lagi prima, sering kali tubuhnya terasa linu dan nyeri.

Dalam kesunyian malam itu, Senja mendongakkan kepalanya ke langit. Bintang-bintang bertaburan bagai permata yang tak terhitung jumlahnya. Ia merasakan keagungan semesta, namun di saat yang sama, ia merasa begitu kecil dan rapuh.

"Tuhan," bisiknya lirih, suaranya hampir tertelan desau angin. "Di tengah luasnya ciptaan-Mu ini, adakah Engkau mendengar keluh kesah hamba-Mu yang lemah ini?"

Air mata mulai mengalir di pipi keriputnya. Bukan air mata keputusasaan, namun lebih kepada luapan rasa yang selama ini ia pendam.

"Hari-hari terasa panjang dan berat, Gusti," lanjutnya, menyebut Tuhannya dengan panggilan yang akrab di telinganya. "Rindu ini tak berujung pada anak-anak yang jauh. Sepi ini menusuk kalbu. Sakit ini melemahkan raga."

Ia terdiam sejenak, menarik napas dalam-dalam. Cahaya rembulan membasuh wajahnya yang penuh kerutan, menampakkan jejak-jejak perjuangan hidup.

"Namun, ya Rabb," Senja kembali berbisik, kali ini dengan nada yang lebih teguh. "Hamba percaya, Engkau tidak pernah meninggalkan hamba. Engkau yang memberikan kekuatan di setiap langkah yang terasa berat. Engkau yang menghadirkan kedamaian di tengah badai kehidupan."

Ia mengingat kembali saat-saat sulit yang telah ia lalui. Bagaimana ia mampu bertahan, bagaimana ia selalu menemukan secercah harapan di tengah kegelapan. Ia menyadari, ada tangan tak terlihat yang selalu menopangnya.

"Hamba tidak meminta kemudahan, ya Allah," ucapnya dengan suara yang mulai bergetar. "Hamba hanya memohon kekuatan untuk menjalani semua ini dengan ikhlas. Berikanlah hamba kesabaran seluas samudra, agar hati ini tidak mudah goyah oleh ujian-Mu."

Senja menatap kembali bintang-bintang. Ia merasakan kehangatan yang menyelimuti hatinya, seolah ada jawaban yang tak terucap namun terasa nyata. Ia menyadari, curahan hatinya malam ini bukanlah sekadar keluhan, namun juga pengakuan atas kebesaran dan kasih sayang Tuhannya.

Perlahan, ia merasakan kedamaian yang давно ia rindukan. Beban di hatinya terasa sedikit ringan. Ia tahu, esok hari akan datang dengan tantangan baru, namun ia tidak lagi merasa sendirian. Ada kekuatan yang lebih besar dari dirinya yang selalu menyertai.

Malam itu, di bawah langit bertabur bintang di pesisir Sihanoukville, seorang wanita tua telah mencurahkan isi hatinya kepada Sang Pencipta. Dan dalam kesederhanaan curahan itu, terjalinlah sebuah hubungan yang abadi antara hamba dan Tuhannya. Ia menemukan ketenangan bukan dalam perubahan keadaan, namun dalam keyakinan yang teguh di dalam hatinya.

Comments

Popular posts from this blog

Fatamorgana

Penantian Tanpa Akhir

Ambiguitas dan Mimpi