Cinta Dalam Diam
Di sebuah perpustakaan kuno dengan rak-rak buku menjulang tinggi dan aroma kertas tua yang khas, hiduplah sebuah kisah cinta yang tak terucapkan. Tokoh utamanya adalah seorang pustakawan muda bernama Elara. Dengan rambut cokelat gelap yang selalu ia sanggul rapi dan mata seteduh danau di pagi hari, Elara menghabiskan hari-harinya di antara tumpukan buku, menemukan keajaiban dalam setiap halaman.
Setiap hari Selasa dan Kamis sore, seorang pria bernama Kael akan datang. Ia seorang penulis yang sedang mencari inspirasi, selalu duduk di meja pojok dekat jendela besar yang menghadap ke taman. Kael memiliki aura misterius dengan tatapan mata yang dalam dan senyum samar yang jarang ia tunjukkan, namun selalu berhasil membuat jantung Elara berdebar.
Elara memperhatikan Kael dari jauh. Bagaimana jarinya menari di atas buku catatan, bagaimana ia sesekali menghela napas panjang seolah sedang bergumul dengan ide-idenya, dan bagaimana tatapannya akan melayang jauh ke luar jendela, mencari jawaban di antara dedaunan yang berguguran. Ada sesuatu dalam diri Kael yang menarik Elara, sebuah kedalaman yang ia rasakan terpancar bahkan tanpa sepatah kata pun terucap.
Rasa yang tumbuh di hati Elara untuk Kael adalah seperti bab yang belum tertulis dalam sebuah novel. Ia mengagumi kecerdasannya, terpesona oleh kesungguhannya, dan merasa ada resonansi yang tak terlihat di antara jiwa mereka. Setiap kali mata mereka tak sengaja bertemu, ada sengatan listrik halus yang menjalari tubuh Elara, meskipun Kael hanya akan memberikan anggukan sopan sebelum kembali fokus pada tulisannya.
Elara ingin sekali menyapa Kael, menanyakan tentang buku yang sedang ia baca atau sekadar menawarkan secangkir teh. Namun, rasa gugup selalu mengurungnya dalam diam. Ia takut mengganggu ketenangannya, takut kata-katanya akan terdengar bodoh, dan takut Kael tidak merasakan hal yang sama. Jadi, ia hanya bisa mencintainya dari jauh, melalui tatapan curi-curi dan perhatian kecil seperti memastikan buku-buku yang ia butuhkan selalu tersedia.
Kael, tanpa sepengetahuan Elara, juga sering memperhatikannya. Ia terkesan dengan dedikasi Elara pada pekerjaannya, bagaimana ia dengan sabar membantu para pengunjung menemukan buku yang mereka cari, dan bagaimana senyumnya selalu berhasil menerangi sudut perpustakaan yang remang-remang. Ada kehangatan dalam diri Elara yang membuat Kael merasa nyaman dan terinspirasi.
Suatu sore, saat Elara sedang merapikan rak buku di dekat meja Kael, sebuah buku tebal terjatuh. Kael dengan sigap membungkuk dan mengambilnya bersamaan dengan Elara. Tangan mereka bersentuhan sekejap, dan untuk pertama kalinya, mereka bertukar tatapan yang lebih dari sekadar sapaan sopan. Ada kehangatan dan sedikit kejutan di mata Kael, dan Elara merasa pipinya memanas.
"Terima kasih," ucap Elara gugup.
"Sama-sama," jawab Kael dengan suara rendah yang membuat Elara merinding. "Kau pasti sangat mencintai buku-buku ini."
"Ya," jawab Elara dengan senyum tulus. "Mereka adalah jendela menuju dunia lain."
Untuk beberapa saat, mereka terdiam, terhanyut dalam keheningan yang terasa berbeda dari biasanya. Ada sesuatu yang baru mengalir di antara mereka, sebuah jembatan kecil yang mulai terbentuk.
Namun, sebelum keberanian Elara terkumpul untuk mengatakan sesuatu yang lebih, seorang wanita anggun menghampiri meja Kael. "Sayang, aku sudah selesai memilih buku," katanya sambil menggandeng lengan Kael.
Kael menoleh dengan senyum lembut. "Elara, perkenalkan, ini Isabella, tunanganku."
Dunia Elara seolah membeku. Senyumnya memudar, digantikan oleh rasa sakit yang tiba-tiba menusuk hatinya. Ia hanya bisa mengangguk kaku, berusaha menyembunyikan kekecewaan yang melanda.
"Senang bertemu denganmu," sapa Isabella dengan ramah, tanpa menyadari badai yang berkecamuk dalam diri Elara.
Kael dan Isabella kemudian berpamitan, meninggalkan Elara yang berdiri terpaku di antara rak-rak buku. Cinta yang selama ini ia simpan dalam diam, ternyata memang harus tetap menjadi rahasia di antara halaman-halaman bisu perpustakaan. Ia kembali pada pekerjaannya, merapikan buku-buku dengan tangan yang sedikit gemetar, merasakan cinta yang tak terungkapkan itu seperti bab yang tak pernah selesai, sebuah cerita yang hanya bisa ia baca dalam hatinya sendiri. Namun, di balik kesedihan itu, ada juga keindahan dalam kesetiaan perasaannya, sebuah melodi hati yang hanya ia seorang yang bisa mendengarkan.
Comments
Post a Comment