Rumah Megah Tak Bertuan

Di ujung kota, berdiri sebuah rumah megah dengan arsitektur klasik yang memukau. Pilar-pilarnya tinggi menjulang, berbalut ukiran rumit yang menggambarkan kisah-kisah kuno. Jendela-jendela besar menghiasi dindingnya, namun selalu tertutup rapat, seakan menyembunyikan sesuatu di dalamnya.

Rumah itu berdiri angkuh, namun sepi dan sunyi. Tak pernah terlihat cahaya menyala dari dalamnya, tak pernah terdengar suara tawa atau langkah kaki. Orang-orang menyebutnya “Rumah Tak Bertuan.”

Banyak rumor beredar tentang rumah itu. Ada yang bilang pemiliknya seorang bangsawan kaya yang tiba-tiba menghilang. Ada juga yang percaya rumah itu dikutuk, sehingga siapapun yang tinggal di sana akan mengalami nasib tragis.

Suatu hari, Raka—seorang jurnalis muda yang penasaran—memutuskan untuk menyelidiki misteri di balik rumah megah itu. Ia ingin menulis kisah yang berbeda, kisah yang bisa menggugah rasa ingin tahu pembacanya.

Dengan kamera dan buku catatan di tangan, Raka melangkah menuju gerbang besi tinggi yang mulai berkarat. Anehnya, gerbang itu tak terkunci. Saat ia mendorongnya, gerbang itu terbuka perlahan, mengeluarkan suara decitan yang memecah keheningan sore.

Halaman rumah itu dipenuhi ilalang yang tumbuh liar. Patung-patung marmer berdiri kaku di sana-sini, tatapannya kosong namun terasa mengawasi. Raka menelan ludah, rasa dingin menjalar di punggungnya. Namun rasa penasaran mengalahkan rasa takutnya.

Ia menaiki tangga marmer yang retak, dan pintu utama yang megah terbuka dengan mudah, seakan menantinya. Begitu masuk, udara dingin menyambutnya, membawa aroma lembap dan debu yang menyesakkan. Ruang tamu yang luas terbentang di depannya, dipenuhi furnitur mewah yang tertutup kain putih. Semuanya terlihat rapi, seakan menunggu penghuni yang tak pernah kembali.

Saat berjalan lebih dalam, Raka menemukan foto-foto lama tergantung di dinding. Wajah-wajah bangsawan dengan tatapan tajam menatap dari balik bingkai emas. Salah satu foto menarik perhatiannya—foto seorang wanita cantik bergaun putih, tersenyum lembut dengan mata yang seolah menyimpan rahasia.

Tiba-tiba, angin dingin berembus, dan terdengar suara bisikan lirih. “Selamat datang... sudah lama tak ada tamu.” Raka terkejut dan menoleh, namun tak ada siapa pun di sana. Jantungnya berdetak kencang, tapi rasa penasaran membuatnya tetap melangkah.

Ia menyusuri lorong panjang yang remang-remang, hingga sampai di sebuah kamar dengan pintu setengah terbuka. Di dalamnya, ada meja rias dengan cermin besar yang terlapisi debu tebal. Di depan cermin, terlihat kursi kayu berukir yang seolah menanti seseorang untuk duduk.

Raka mendekat dan mengusap debu di cermin. Saat itulah ia melihatnya—bayangan wanita bergaun putih dari foto di dinding tadi, berdiri tepat di belakangnya, tersenyum lembut namun matanya kosong tanpa jiwa.

Bayangan itu bergerak, perlahan mendekat. Raka terdiam, tubuhnya kaku seakan membeku. Wanita itu berbisik pelan, suaranya dingin dan dalam, “Apakah kau datang untuk menemaniku... selamanya?”

Tanpa berpikir panjang, Raka berlari keluar, napasnya memburu. Ia menuruni tangga dengan tergesa-gesa, hampir terjatuh. Begitu keluar dari pintu utama, angin kencang menerpa wajahnya, seolah mendorongnya menjauh dari rumah itu.

Ia berlari tanpa menoleh ke belakang, meninggalkan rumah megah yang berdiri sunyi di ujung kota. Sejak hari itu, Raka tak pernah lagi mendekati rumah itu. Namun saat melihat hasil fotonya, ia menyadari sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri—di setiap foto yang diambilnya, bayangan wanita bergaun putih selalu terlihat, berdiri di belakangnya dengan senyuman yang sama.

Rumah megah itu memang tak bertuan... atau mungkin, justru memiliki tuan yang tak pernah pergi.

Comments

Popular posts from this blog

Fatamorgana

Penantian Tanpa Akhir

Ambiguitas dan Mimpi