Keikhlasan Cinta

Senja mulai turun perlahan di ufuk barat, menciptakan pantulan jingga keemasan di permukaan danau. Di bawah rindangnya pohon akasia, Sarah duduk diam, menatap air yang beriak pelan. Hatinya penuh dengan perasaan yang sulit dijelaskan.

Tak lama, langkah kaki yang begitu familiar mendekat. Rey datang dengan senyuman yang masih sama, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda dalam tatapannya—sebuah kesedihan yang tak ia tutupi.

"Sarah..." Rey memanggil pelan, duduk di sampingnya.

Sarah menghela napas, lalu tersenyum kecil. "Akhirnya kamu datang."

Rey menatap gadis itu dengan mata penuh ragu. Ia tahu bahwa pertemuan ini bukan sekadar temu kangen. Ini adalah pertemuan yang akan menentukan segalanya.

"Aku ingin berterima kasih," Sarah mulai berbicara, suaranya lembut namun tegas. "Terima kasih sudah pernah menjadi bagian paling indah dalam hidupku. Aku tidak menyesal pernah mencintaimu."

Rey menggigit bibirnya, menahan sesuatu yang terasa begitu berat di dadanya. "Sarah, aku—"

"Aku tahu," potong Sarah, menatapnya dengan mata yang berbinar dalam cahaya senja. "Kamu mencintainya."

Keheningan menyelimuti mereka. Hanya suara angin yang berhembus dan desiran air danau yang terdengar.

Sarah tersenyum lagi, kali ini lebih tulus. "Cinta tidak selalu tentang memiliki, Rey. Aku mencintaimu, tapi aku lebih mencintai kebahagiaanmu. Jika hatimu telah memilih dia, maka aku harus belajar mengikhlaskanmu."

Rey menunduk. Hatinya perih mendengar kata-kata itu, karena ia tahu, Sarah adalah seseorang yang tulus. Namun, cinta kadang memilih jalannya sendiri.

"Aku tidak ingin menyakitimu," suara Rey lirih, penuh rasa bersalah.

Sarah menggeleng pelan. "Kamu tidak menyakitiku, Rey. Cinta tidak seharusnya menjadi luka. Aku hanya butuh waktu untuk menerima bahwa tidak semua yang kita inginkan bisa kita genggam selamanya."

Mata Sarah menatap langit yang mulai berubah warna, seolah mengerti bahwa takdirnya bersama Rey memang telah berakhir.

Rey menghela napas panjang. "Aku akan selalu menghargai apa yang pernah kita miliki."

Sarah tersenyum, kali ini dengan lega. "Aku tahu. Dan aku akan selalu mendoakan kebahagiaanmu, Rey."

Senja akhirnya benar-benar tenggelam, meninggalkan mereka dalam keheningan. Sarah memilih pergi lebih dulu, meninggalkan jejak di jalan setapak yang akan segera hilang tertiup angin.

Rey hanya bisa menatapnya, menyadari bahwa cinta terbesar bukanlah tentang memiliki, melainkan tentang keikhlasan untuk merelakan.

Dan di bawah langit yang semakin gelap, Sarah melangkah pergi dengan hati yang ringan—karena ia tahu, cinta yang paling indah adalah cinta yang mampu mengikhlaskan.

Comments

Popular posts from this blog

Fatamorgana

Penantian Tanpa Akhir

Ambiguitas dan Mimpi