Cinta Dalam Secangkir Kopi
Di sudut sebuah kafe kecil yang terletak di ujung jalan, Raka duduk menatap cangkir kopi hitam di depannya. Asap tipis masih mengepul, menebarkan aroma yang akrab di hidungnya. Ia tersenyum kecil, mengenang seseorang yang memperkenalkannya pada kopi—Naya.
Lima tahun lalu, di tempat yang sama, Naya duduk di hadapannya dengan senyum cerah. "Coba ini," katanya, mendorong secangkir kopi ke arah Raka.
"Aku nggak suka kopi," protes Raka saat itu.
"Tapi hidup ini seperti kopi," balas Naya ringan. "Kadang pahit, tapi kalau dinikmati dengan cara yang tepat, bisa jadi sesuatu yang indah."
Raka tertawa saat itu, menganggapnya hanya sekadar filosofi iseng. Tapi karena Naya, ia mulai belajar menikmati kopi—dan diam-diam, ia juga mulai menikmati kehadiran Naya dalam hidupnya.
Hari-hari berlalu dengan cangkir demi cangkir kopi yang mereka habiskan bersama. Hingga suatu hari, di tempat yang sama, Naya mengaduk kopinya perlahan, menatap Raka dengan tatapan ragu.
"Aku dapat beasiswa ke luar negeri," katanya pelan.
Jantung Raka berdetak lebih cepat. "Berapa lama?"
"Lima tahun..."
Raka terdiam. Lima tahun bukan waktu yang sebentar.
"Kalau aku pergi... kamu akan tetap di sini?" tanya Naya.
Raka menatap secangkir kopinya. Ia ingin mengatakan bahwa ia akan menunggu, bahwa ia akan baik-baik saja. Tapi yang keluar dari mulutnya justru, "Pergilah. Kejar impianmu."
Dan Naya pun pergi.
Kini, lima tahun telah berlalu. Raka masih duduk di sudut kafe yang sama, menyesap kopi yang kini tak lagi terasa pahit. Ia telah belajar memahami arti menunggu.
Pintu kafe berbunyi. Raka mengangkat kepala, dan di sana, berdiri seorang wanita dengan senyum yang masih sama seperti lima tahun lalu.
"Naya..."
Naya melangkah mendekat, lalu duduk di hadapan Raka.
"Kopimu masih hitam seperti dulu," katanya, menatap cangkir di tangan Raka.
"Dan senyummu masih sama," balas Raka pelan.
Naya tertawa kecil. "Jadi... kamu masih menungguku?"
Raka menatapnya lekat, lalu tersenyum. "Beberapa hal memang butuh waktu untuk dinikmati. Seperti kopi... dan seperti kita."
Dan di antara aroma kopi yang menghangatkan, cinta yang pernah tertunda kini menemukan jalannya kembali.
Comments
Post a Comment