Secarik Rindu Diatas Kertas
Di sebuah sudut ruangan yang remang, seorang pemuda duduk dengan pena di tangan, menatap kosong ke luar jendela yang menghadap ke taman kecil di depan rumah. Hujan gerimis turun dengan lembut, menyentuh bumi seperti bisikan kenangan yang lama terlupakan. Di atas meja, selembar kertas kosong menunggu untuk dipenuhi dengan kata-kata.
Tangan pemuda itu gemetar. Ia tahu, kata-kata yang akan ia tulis bukan hanya sekadar kalimat biasa, melainkan sebuah perasaan yang ingin ia sampaikan. Sebuah perasaan yang tersembunyi dalam hatinya selama bertahun-tahun, namun tak pernah ia ungkapkan.
"Untukmu yang jauh di sana," ia mulai menulis.
Kertas itu perlahan terisi dengan tulisan-tulisan yang merangkai cerita, yang pada akhirnya membentuk sebuah surat panjang. Surat itu bukan untuk dibaca oleh siapapun selain dirinya. Sebuah surat yang menjadi medium untuk melepaskan rindu yang telah lama terpendam.
"Aku sering membayangkan, bagaimana jika kita masih bersama. Bagaimana jika waktu tidak mengubah segalanya, dan kita masih bisa berjalan berdua seperti dulu. Aku rindu tawa kecilmu, rindu cara kau memandang dunia dengan penuh harapan. Aku rindu ketika kau mengajakku berbicara tentang segala hal yang tak pernah kusangka penting, namun selalu bisa membuatku merasa lebih hidup."
Pemuda itu berhenti sejenak, menatap kembali tulisan itu. Di setiap kalimat, ia bisa merasakan getaran emosi yang telah lama terkubur. Rindu yang ada di dalam dirinya, yang tak pernah bisa ia katakan langsung padanya. Semua itu tertuang di atas kertas, seolah setiap kata menjadi semacam terapi, menyembuhkan luka-luka lama yang sepertinya tak akan pernah bisa hilang.
"Waktu membawa kita ke jalan yang berbeda, dan aku belajar untuk menerima kenyataan bahwa kita tak lagi bisa berbagi hari-hari seperti dulu. Namun, entah mengapa, setiap kali hujan turun, aku selalu merasa seperti ada bagian dari dirimu yang kembali hadir. Seperti secarik rindu yang berwujud dalam bentuk hujan, yang selalu mengingatkanku padamu."
Tetesan air hujan yang jatuh ke jendela membentuk pola-pola kecil, seperti air mata yang tak terlihat. Pemuda itu menarik napas panjang dan melanjutkan tulisannya.
"Aku tidak tahu apakah kau merasakan hal yang sama, atau jika kenangan kita sudah memudar seiring berjalannya waktu. Namun, aku ingin kau tahu, bahwa ada bagian dari diriku yang selalu rindu padamu, yang selalu berharap suatu hari nanti kita bisa bertemu lagi, meski hanya untuk mengingatkan diri kita bahwa cinta itu pernah ada."
Setelah selesai menulis, pemuda itu menatap surat itu dengan perasaan campur aduk. Tidak ada kata-kata yang cukup untuk menggambarkan semua yang ada di dalam hatinya, tapi ia merasa sedikit lebih ringan. Ia melipat surat itu dengan hati-hati, menaruhnya di dalam amplop, dan menyimpannya di dalam laci meja, tempat di mana semua kenangan tentang mereka tersembunyi.
Hujan di luar masih terus turun, dan pemuda itu beranjak dari kursinya. Ia berjalan ke luar ruangan, menyisakan secarik rindu di atas kertas. Rindu yang mungkin tidak akan pernah terungkap langsung, namun tetap hidup dalam setiap hela napasnya, dalam setiap ketukan hujan yang menyentuh tanah.
Comments
Post a Comment